Mei 03, 2010

Seba Baduy "Tontonan dan Tuntunan"

Oleh: Ibnu PS Megananda
Kalau ada komunitas suku atau etnis disebuah bangsa yang setia pada pemerintah salah satunya adalah komunitas orang Baduy. Penghormatannnya dengan pemerintahan bukan hanya sekedar menurut atau menerima apa yang dinginkan pemerintah, tapi diujudkan dalam hal baktinya dengan melakukan seba setiap tahun.


Sepertinya tidak pernah bosan orang Baduy melakukan seba (berkunjung) pada pemimpinnya yang dikabupaten atau provinsi. Kita akhirnya dapat menyaksikan rombongan saudara-saudara kita itu berjalan keluar hutan dari lingkungan tempat tinggalnya dengan perasan heran. Mereka berjalan dengan telanjang kaki - dengan rapi tanpa dahulu mendahului juga dengan semangat pasti. Mereka memakai pakaian sama, hitam-hitam untuk orang Baduy Luar dan putih-putih untuk orang Baduy Dalam.

Bagai kelompok suku turun gunung, mereka ingin ketemu bupati atau gubernur seakan tak ada terbersit rasa malas. Dan bagai kewajiban untuk menemui pimpinannya orang yang diamanatkan dipemerintahan. Mereka bertahun-tahun tak pernah absen untuk seba. Mereka tak memandang siapa pimpinannya, yang bupati atau gubernur. Tak melihat pimpinannya itu baikah atau burukkah, amanahkah atau korupkah, mereka datang dengan wajah berseri-seri, dengan senyum iklas.

Cikertawana, Cibeo, Cikeusik di pegunungan Kendeng adalah wilayah Baduy Dalam dengan jarak ratusan kilometer jalan kaki hingga Pendopo Gubernuran Banten. Tanpa satu orangpun mereka mengeluh capek, linu atau pegal-pegal. Jalan kaki memang sudah jadi budayanya sehingga Baduy Dalam selalu menolak untuk naik kendaraan. Dan jalan itu sendiri memang membuat kaki-kaki mereka kuat dan kokoh, tak ada mereka mengeluh kena duri atau terkena sakit asam urat. Seperti kita orang-orang yang sudah dimanjakan kendaraan, untuk pergi ke pasar, ke kantor yang jaraknya tidak ada 1 kilometer saja naik kendaraan.

Saat seba dengan jalan kaki sesungguhnya merupakan budaya jalan yang eksotik. Karena mereka orang-orang yang keluar dari lingkungannya menuju suatu tempat tentu dapat menjadikan perhatian tersendiri dalam hal kepariwisataan. Orang-orang luar yang tidak pernah samasekali melihat rombongan orang Baduy seperti saya (penulis) waktu pertama di Banten merasa terheran-heran. Dalam perasaan saya, ada ya orang jalan dengan rombongan berjumlah besar, berpakaian sama, membawa bungkusan sama, telanjang kaki pula, jalan dengan tertibnya.
Maka menjadi tidak eksotik lagi bila diangkut dengan kendaraan, walau memang bisa alasannya sangat manusiawi, kasihan atau menpercepat waktu pertermuan bagi yang akan ditamui.

Namun alasan yang seolah manusiawi tadi, malah bisa tidak manusiawi bagi anggapan mereka bila adat mereka diubah. Keeksotikan Seba Baduy – gerak mereka dari gunung hingga ke pendopo layaknya belum menjadi perhatian sebagai obyek pariwisata, seperti sekaten di Jokja atau pesta Danau Toba di Tapanuli, Sumut.

Tidak Mudah Masuk Angin
Seba Baduy sangat disayangkan sudah berlangsung puluhan tahun tapi sepi pengunjung, apa lagi turis manca tidak ada sama sekali. Peristiwa seperti seba itu tidak mudah untuk dicipta-ciptakan, peristiwa itu sudah pasti, mengapa pemerintah masih belum ada kemauan untuk menangkap momen itu. Seba Baduy bukan hanya sekedar kunjungan, namun bisa dilihat dari nilai sebuah budaya yang permanan, yang tak luntur kena hujan dan tak lekang kena panas.

Dengan peristiwa seba pada tanggal 19 april kemarin, betapa trupsilanya orang Baduy dihadapan Pak Masduki (wakil gubernur). Ratusan orang, mereka duduk bersila tanpa terdengar berbisik atau bicara sedikitpun – bila diumpamakan ada jarum yang jatuh kemungkinan akan terdengar karena ketenangan atau keantengan mereka. Dengan wajah yang bersih dan berseri-seri mereka mendengarkan pimpinannya berbicara. Yang pada waktu itu 'ibu gede' yang katanya mereka sebut untuk Bu Ratu Atut Chosiyah (gubernur) sedang tidak ada ditempat karena informasinya menghadiri undangan presiden.

Keantengan itu saja menunjukkan betapa tertibnya – memuliakan orang lain berbicara tidak lantas ngobrol sendiri-sendiri, memegang hp, smsan, seperti pemandangan pada selain orang Baduy, ya mungkin kita. Seba saat itu disaksikan seniman-budayawan, diantaranya pelukis terkemuka Banten, Gebar Sasmita, Q'bro, budayawan Al Faris, penyair Sulaiman Jaya dan lainnya. Yang memang para seniman-budayawan diundang pihak panitia – mungkin dalam rangka menyaksikan peristiwa budaya seba itu.

Pak Gebar Sasmita pada waktu itu menyempatkan melukis seketsa wajah orang Baduy yang ia lihat dilembaran kertas dengan alat tulis pulpen. Lalu lukisan itu saya minta, dan Pak Gebar berkata, pancaran wajah orang Baduy adalah dorongan kecemerlangan sinar hati sanubarinya. Saya juga akhirnya memaksakan melihat dengan meneliti guratan wajahnya orang Baduy. Wajah mereka bersih, padahal bila dipikir mereka tempat tinggalnya di hutan, dan tentu bersawah ladang. Dan mandi juga katanya tidak pakai sabun, apa lagi pakai make up penghalus kulit, tentu saja tidak. Tubuh dan wajah mereka sehat, tidak kelihatan pucat seperti orang sakit, ada yang agak gemuk, tapi mekipun kurus sehat tringinas. Saya bisa membayang mereka orang-orang yang tidak mudah masuk angin, tidak mudah pusing, muntah-muntah lalu kerokan.

Bukan Sebuah Kesenian
Cara pandang hidup mereka sangat sederhana, sama rasa, sama cara sudah mereka lakukan – tidak ada kesenjangan. Bahkan sama sekolah juga mereka curiga, karena sekolah hanya membangun akal – sedang akal memang dikatakan mereka cendrung untuk mengakali yang lain. Mereka yang diwakili tokoh muda Baduy Dalam, Ayah Mursit, bicara tentang orang gontok-gontokan diluar lingkungan mereka. Bicara tentang payung hukum adat, tentang mencegah banyaknya pengangguran diluar Baduy yang bisa mengganggu lingkungan Baduy. Bicara tentang undang-undang atau peraturan, yang mereka minta harus ada aplikasinya. Lalu bicara tentang lingkungan hutan harus tiga poin untuk dilakukan, pertama, penguasaan, kedua, pemeliharaan dan ketiga, pemberdayaan.

Pak Masduki dan para pejabat saat itu kelihatannya terkesima mendengar kata-kata Ayah Mursit. Ternyata orang Baduy cerdas-cerdas, apa lagi mereka tak pernah sekolah samasekali. Visi bicara mereka kedapan mengedepankan kebaikan duniawi dan kesejahteraan kehidupan. Melihat keberadaan itu sesungguhnya kita tak sanggub mengajari moral pada meraka. Diri ini bisa malu bila melihat betapa cukup dan banyaknya anggaran, namun jalan diluar wilayahnya sampai ditanyakan. Betapa banyaknya anggaran pertanian dan dibentuk UPTD ketahanan pangan, tapi bila dibandingkan orang Baduy, mereka tak pernah kekurangan makan.

Kita mungkin kasihan karena menganggap mereka orang terbelakang, tak mengenyam pengetahuan. Namun bisa jadi mereka kasihan melihat kita yang hidup diluar lingkungannya yang hanya dibelenggu nafsu dan pikiran-pikiran kusut. Seba Baduy adalah momen untuk penyadaran diri atau cermin sebagai orang hidup yang tentu butuh nilai-nilai mulia. Sebagai obyek wisata sebagai tontonan karena terjadi peristiwa eksotisme. Sedang lain hal Seba Baduy juga tuntunan, karena cara pandang dan pola pikirnya luhur, mengiginkan kebersamaan dan silaturahmi, tidak saling menyakiti. Tontonan dan tuntunan disini bukan semacam sebuah kesenian, namun lebih pada nilai-nilai kemanusiaan.

* Penulis, budayawan, tinggal, di Serang, Banten.

0 komentar:

suara anda:

ShoutMix chat widget

Pengunjung Ke:

Pengikut

Lorem Ipsum


  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP