Agustus 12, 2009

KOSIPA menggurita, Dinkop Banten Tutup Mata?

Bank Keliling yang menggunakan kedok Koperasi Simpan Pinjam (KOSIPA) di Provinsi Banten, tumbuh pesat bak jamur saja. Lantas sejauh mana Pemerintah Provinsi Banten dalam mengawasi kinerja bank keliling tersebut, karena banyaknya pedagang kecil yang terjerat oleh Kosipa sementara pemerintah tutup mata.

Soal pinjaman modal bagi kalangan usaha mikro, istilah kosipa atau yang lebih akrab disebut bank keliling, seolah menjadi dewa penolong. Butuh modal cepat persyaratan tidak berbelit. Kondisi yang jauh berbeda dengan pinjaman perbankan.

Bahkan menurut seorang sales kredit UMKM sebuah bank swasta, bagi kalangan pedagang kecil di Pasar Induk Rau (PIR) Kota Serang, meminjam modal ke Kosipa sudah mendarah daging. “Pokoknya, pedagang di PIR sudah kosipa mended lah,” ujar Apon Priadi.

Dalam jangka panjang, ujar Apon, praktek simpan pinjam semacam ini kurang bagus dan cenderung ke praktek rentenir. Menyikapinya harus ada tindakan nyata dari Dinas Koperas Provinsi Banten. Kenapa Dinas Koperasi Provinsi Banten? Apon mengemukakan alasan, bahwa wilayah geraknya banyak yang sudah leve provinsi. “Saya berharap Dinas Koperasi Banten jangan tutup mata,” ujar pria yang pernah mengelola BMT di sebuah kecamatan di Kabupaten Serang.

Sementara menurut Bendahara Koperasi Praja Mukti Kabupaten Pandeglang, Samsudin Koperasi simpan pinjam (KOSIPA) yang tidak beres pemerintah harus bertundak tegas. Bila mereka mencari nasabah menggunakan Koperasi anggota itu harus di beri buku koperasi.

“Sekarang ini banyak masyarakat yang meminjam uang ke kosipa namun tidak diberi buku anggota. Lantas dikemanakan sisa hasil usaha (SHU) dan apakah masyarakat yang meminjam itu disebut anggota koperasi. Padahal mereka (masyarakat-red) yang meminjam uang ke Kosipa terus menerus dan mengapa setiap pinjaman itu selalu adanya potongan administrasi,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Ketua PKP-RI Kabupaten Pandeglang Drs. H. Utang Ali Muchtar. Menurutnya Kosipa lambat laun akan membunuh para pedagang kecil yang ada di daerah. Karena mereka secara tidak langsung dan sedikit demi sedikit telah menggerogoti keuntungan dari pedagang itu sendiri.

“saudara saya, tadinya membuka usaha warungan kecil-kecilan. Tadinya mulai berkembang, lantaran meminjam uang ke kosipa sekarang bangkrut lagi. Contoh ini menandakan bahwa kosipa bukan untuk membantu pengusaha kecil melainkan membunuh,” ujarnya, seraya berharap kepada dina terkait, untuk segera bertindak. (Sofyan_Banten Ekspose)

Read More.. Read more...

PKPRI Pandeglang, Lewat SPBU Terus Tambah SHU

Kurun 1986-1998 boleh jadi awal kebangkitan Koperasi di Kabupaten Pandeglang. Pasalnya, saat itu banyak koperasi yang tumbuh. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengerti hakekat koperasi, sehingga saat akan RAT (rapat anggota tahunan) semua dibuat oleh Departemen Koperasi.

“Ini membuktikan bahwa koperasi yang ada belum sepenuhnya milik anggota. Baik itu Koperasi yang ada di lingkungan Pegawai maupun koperasi umum lainnya, sehingga apa yang dikerjakan koperasi diatur oleh Kantor Departemen koperasi Kabupaten Pandeglang,” terang ketua PKPRI Kabupaten Pandeglang Drs. H Utang Ali Muchtar belum lama ini.

Pergerakan Koperasi dari tahun 1986-1998, sangatlah signifikan. Hasil dari perjuangan untuk memperjelas arti sebuah koperasi mendapat hasil yang maksimal. saat ini semua koperasi sudah dapat melakukan RAT sendiri dan laporan tentang Sisa Hasil Usaha (SHU), yang tadinya diatur oleh Departemen. “Dengan demikian koperasi sekarang tidak lagi diskenariokan oleh dinas melainkan sudah berdiri sendiri,” sambung H. Utang.

Menurutnya, maju mundurnya koperasi disebabkan beberapa hambatan yang muncul diantaranya tidak adanya kebersamaan antara pengurus dan anggota, ketidak jujuran pengurus, tidak adanya keteladanan, tidak adanya keterbukaan, tidak adanya keleluasaan, dan tidak adanya keiklasan, semua itu merupakan penyebab mundunya suatu koperasi.

“Oleh sebab itu semua pengurus harus memikili sifat sebaliknya dari yang tadi, karena dengan memegang prinsip tersebut, Insya Allah koperasi akan tetap bertahan dan mengalami kemajuan,” urai Utang.

Menyinggung keberadaan Pusat Koperasi Pegawai Republik Indonesia (PKPRI), Utang mengatakan dengan gamblang, bertolak dari sanalah kebangkitan Koperasi Pegawai mulai terlihat. Dengan ketekunan dan keiklasan pengurus PKPRI bekerjasama dengan Dekopinda, mengadakan arahan dan pelatihan bagaimana tatacara mengurus koperasi yang benar, dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain, dan mendapat hasil yang memuaskan.

Kemudian itu, setelah anggota Koperasi Pegawai mengerti tentang tatacara dan aturan tentang koperasi, PKPRI mulai mengembangkan usaha yang lain seperti membuat wisma untuk umum dan kantin. Kemudian pada tahun 1998, PKPRI merintis usaha yang lain yaitu Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) di Panimbang, tantangan demi tantanmgan bermunculan. Baik dari anggota atau yang lain.

”Pada kepemimpinan Bupati H Yitno mendukung kegiatan PKP-RI, sehingga RAT yang dihadiri 1000 anggota hadir semua. Dari sanalah datang dukungan dan restu untuk SPBU yang ada di Panimbang,” terang Utang.

Setelah mendapat restu dari Bupati Pandeglang, selama dua tahun mengadakan studi banding ke Koperasi PKPRI Ciamis bagaimana mengoperasikan SPBU yang di Kelola PKPRI. Hasilnya, pada tahun 1992 didirikanlah SPBU tersebut. Setelah terasa SHU dari SPBU Panimbang PKPRI mendirikan lagi SPBU yang ada di Saketi dan di Cibaliung.

“Untuk di Kecamatan Saketi PKPRI mendapat pinjaman dari Bank BNI sebesar 1,5 M. Sedangkan yang di Kecamatan Cibaliung baru dalam tahap pengadaan tanah,” kantanya.
Dijelaskan Utang, SPBU yang ada di Kecamatan Panimbang anggarannya semua dari anggota PKPRI sehingga SHUnya juga sangat dirasakan sekali oleh anggota. “Begitu pula, saat akan dibangun SPBU ke dua di kecamatan Saketi, semua anggota sangat merespon sekali. Karena Sisa Hasil Usaha yang didapat dari SPBU Panimbang dapat dirasakan manfaatnya,” pungkasnya. (Sofyan_Banten Ekspose)

Read More.. Read more...

Dishutbun Lebak Kembangkan Usaha Produksi Non Kayu


Dalam rangka mengantisipasi dampak krisis global dan saat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menimbulkan banyak pengangguran baru, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Lebak, melakukan kegiatan Pengembangan Produksi non Kayu (Jamur –red) yang menjadikan tumbuhan hutan yang biasanya dianggap tak berharga, menjadi sebuah komoditas dengan nilai ekonomis tinggi. Hal tersebut dikatakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, H. Aan Kusdinar saat ditemui Banten Ekspsoe dikantornya (4/8).

Dikatakannya, APBD Lebak tahun 2009 mengaloasikan dana sebesar Rp. 50 juta untuk kegiatan tersebut yang lokasinya di Desa Pasarkeong Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak. Diharapkan pada kegiatan tersebut, selain dalam upaya Pemkab Lebak menekan angka pengangguran, juga dapat menjadikan sarana pemenuhan ekonomi keluarga dan terpenuhinya gizi keluarga secara mudah dan murah.

“Pengembangan usaha produksi non kayu atau jamur ini dalam pelaksanaannya sangat efektif dan efisien, karena sangat mudah dilakukan baik perawatan maupun pemiliharaanya,” kata H. Aan. Apabila kegiatan tersebut, lanjut H. Aan, dapat berjalan dengan baik dan sukses, maka pihaknya akan mengadakan daerah sentra jamur

Sementara itu secara terpisah, Pembina pada kelompok Tani Maju Bersama, Adnan mengatakan, pengembangan usaha produksi non kayu ini (jamur) sangat diharapkan oleh kelompok tani binaannya, karena diwilayahnya masih banyak orang yang masih menganggur. Dengan adanya kegiatan tersebut dapat mengurangi pengangguran. Dipilihnya usaha tersebut, kata Adnan, karena menurutnya, tumbuhan jamur tiram sebelumnya memang kurang begitu diminati masyarakat, bahkan cenderung dipandang sebagai komoditas yang tidak bernilai sama sekali.

“Memang komoditi ini, hanya dipandang sebelah mata. Karena selain hanya tumbuh di hutan tepatnya pada pohon kayu, tumbuhan jamur ini juga dipandang tak “memiliki nilai giji maupun ekonomi,” jelasnya.

Maraknya permintaan mengkonsumsi jamur tiram dari masyarakat dengan selalu habisnya penjualan jamur kepada masyarakat sekitar. Ini membuktikan usaha jamur memiliki prospek usaha yang cerah yang mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan ekonomi para anggota kelompok tani binaannya.

“Saat ini kami memiliki sebanyak 8.000 Baglog jamur, sehari menghasilkan 10 hingga 30 kilogram jamur dan itu selalu habis terjual kepada masyarakat yang berada di daerah sekitar,” kata Adnan pada Banten Ekspsose dikediamannya.

Pihaknya akan mengusahakan dari 8.000 Baglog menjadi 10.000 Baglog agar dapat menghasilkan rata-rata 50 kilogram sehari. Saat ini harga jual jamur tiram mencapai Rp. 8.000,- hingga Rp. 9.000,- perkilogramnya. (Sudrajat_banten ekspose)

Read More.. Read more...

suara anda:

ShoutMix chat widget

Pengunjung Ke:

Pengikut

Lorem Ipsum


  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP