Juli 04, 2009

Semua Bicara Ekora, Kenyataannya.....?

Gaung ekonomi kerakyatan, muncul ketika bangsa ini disadarkan dengan skenario krisis ekonomi, beberapa tahun silam. Pasca krisis, banyak kalangan yang menilai dan mengakui, bahwa mereka yang paling banyak bertahan dan tidak rewel minta proteksi pemerintah adalah kelompok pelaku ekonomi kecil dan mikro.

Demikian halnya dengan masalah redit macet, yang sempat menghebohkan republik ini. Kalangan pengamat menilai, sektor usaha kecil yang sudah punya kewajiban ke perbankan, kredit macetnya tidak seberapa, dibandingkan dengan mereka yang sudah banyak menikmati ‘fasilitas-fasilitas’ negara. Tapi, pada kenyataannya kelompok usaha kecil tetap saja terpinggirkan. Ada apa?

Ketika perhelatan pemilu legislatif kemarin, nyaris semua partai mengusung isu masalah-masalah ekonomi rakyat. Biasa, apalagi kalau bukan untuk menarik simpati konstituen. Ini bisa kita lihat dari program-program yang disodorkan partai peserta Pemilu legislatif kemarin.

Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja

Ngurusi kerakyatan (baca: kelompok kecil dan mikro), memang sangat tidak menguntungkan. Beda dengan ngurusi mereka yang bankable. Biasa, ngurusi yang kecil paling banter serice dengan pisang goreng. Sementara yang besar....? Ini pula yang banak disoroti kalangan pegiat kampanye ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat semata.

Menyoal perlunya pemihakan pada ekonomi wilayah kerakyatan, kelompok Capres MegaPro, SBY Berbudi, dan JK-WIN, semuanya seolah menyuarakan hal yang sama: kembali ke ekonomi kerakyatan. Hanya saja, kemasan yang mereka tampilkan berbeda. Ini bisa kita saksikan, saat ketiga pasang Capres – Cawapres tersebut berbicara di kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

Sebut saja, calon wakil presiden Boediono yang diusung koalisi pimpinan Partai Demokrat menyampaikan tiga platform ekonomi kerakyatannya. Katanya, platform inilah yang akan disosialisasikan kepada masyarakat pada kampanyenya. Tiga hal tersebut adalah kesejahteraan rakyat, pemerintahan yang bersih, dan demokrasi.

Demikian pula dengan Konsep ekonomi kerakyatan yang diusung pasangan Megawati-Prabowo menjadi materi yang dipertanyakan para pengusaha, pada Dialog Calon Presiden 2009, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sebelum ditanya pengusaha, Mega sudah menjelaskan terlebih dahulu bahwa ekonomi kerakyatan tidak serta-merta menyingkirkan pelaku industri.

"Saya sudah menyangka, saya kan selalu berbicara wong cilik, pasti akan ditanya bagaimana industri? Kalau disingkirkan, alangkah naifnya saya," ujar Mega pada acara yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Menurutnya, pengusaha dan rakyat pelaku ekonomi mikro memiliki tempat masing-masing. "Pengusaha ada tempatnya. Rakyat, wong cilik, yang menjadi pelaku ekonomi mikro juga punya tempatnya. Mereka, pelaku ekonomi mikro ini, perlu dibantu bagaimana mengangkatnya. Jadi, pengusaha dan kita semua diberikan kesempatan untuk bersama-sama membangun Indonesia tercinta ini," ujar Mega.

Para pelaku ekonomi mikro, menurutnya, perlu dibantu dan dibangun sinergi dengan para pelaku industri besar. "Usaha kecil itu biasanya di hulu, usaha besar dari tengah sampai hilir. Kalau saja akses dari hulu ke hilir ini dibuka, alangkah hebatnya. Yang kecil ini harus diberikan petunjuk, ke mana arah jalan mereka," ujar Ketua Umum PDI Perjuangan ini.

Megawati menjelaskan ekonomi kerakyatan yang diusungnya, yaitu ekonomi yang berdaulat tanpa tergantung dengan negara lain. "Berdiri di atas ekonomi sendiri," kata Mega

Bagaimana dengan JK-WIN? Dalam pandangan Jusuf Kalla, seperti dilansir Republika, posisi sektor riil sangat penting dalam perekonomian negara. Kegiatan ekonomi rakyat banyak berkutat di sektor ini.

Menyoal pasar tradisional, misalnya, JK melihat bahwa pasar Tradisional memiliki peran sangat penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Selain itu, pasar Tradisional memiliki peran sangat penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat dan lebih jauh pasar tradisional merupakan urat nadi perekonomian Indonesia.

Tak Sejalan Konstitusi
Bagaimana kata pengamat ekonomi? Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, menilai visi kebijakan ekonomi yang dibeberkan oleh ketiga pasang capres yang akan bertarung 8 Juli mendatang ahistoris—tidak sejalan dengan amanat konstitusi.

"Konsep ekonomi ketiga capres masih jauh dari amanat Pasal 33 (1) UUD 1945. Di mana ekonomi kerakyatan itu berpijak pada tiga pilar pelaku ekonomi kerakyatan yakni koperasi, BUMN dan swasta," kata Ichsanuddin Noorsy, seperti dilansir Surabaya Post.

Menurut Ichsanuddin, Mega-Pro hanya menempatkan koperasi di prioritas terakhir dan kecil. Jadi belum terlihat konsep ekonomi kerakyatannya. "Kampanye Presiden AS Barack Husein Obama menegaskan melindungi konstitusi, lalu apakah pemerintah selama ini menjalankan konstitusi. Itulah yang tidak dijawab para capres," tuturnya.

Lebih jauh mantan anggota DPR F-PG ini menjelaskan, dari berbagai kebijakan ekonomi dan UU yang disahkan oleh DPR dan pemerintah seperti rekapitalisasi perbankan, UU BUMN, pertanahan dan lainnya, yang mendapatkan manfaat bukan rakyat. "Tapi sebesar-besarnya untuk asing. Jadi, ekonomi kita masih terintervensi oleh asing,” katanya.

Dia umpamakan, utang baru dari World Bank sebesar 6,5 miliar dollar AS, ADB 43 miliar dollar AS dan masih banyak lagi. Maka, siapapun presiden yang terpilih tetap akan terikat dengan utang-utang itu, ujarnya.

Ditambah lagi, kini KPU membolehkan pejabat negara berkampanye. “SBY-JK bertarung saja sudah mengganggu jalannya pemerintahan, apalagi kalau menteri-menteri ikut kampanye, maka akan makin amburadul,” tegas Ichsanuddin.

Sementara tim sukses Mega-Pro Hasto Kristiyanto (PDI Perjuangan), mengakui jika pemerintah dan DPR merupakan lembaga tinggi negara yang memberikan andil besar terhadap suburnya ekonomi neoliberal. “Investor asing, pengelolaan sumber daya alam, perdagangan pasar bebas, Perppu 21/2007 yang menjadi UU (free trade zone) untuk Batam dan Karimun adalah jelas neoliberalis, jatuhnya harga-harga pertanian dan lainnya jelas merugikan rakyat,” ujar Hasto.

Menurut Hasto, pemerintahan SBY sekarang ini hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan sektor riil. "Karena itu wajar jika asing yang selalu diuntungkan dalam proyek-proyek strategis Negara seperti Free Port, minyak di Balongan Cilacap Jateng, minyak Blok Cepu, Bojonegoro Jatim, sehingga utang terus bertambah dan rakyat senang menerima tunai langsung dari utang tersebut karena tidak tahu sumbernya.

Hal senada ditegaskan anggota Fraksi PKS Zulkiflimansyah. "Konsep neoliberal tidak selalu berbuah manis. Menkeu Sri Mulyani dan Boediono memang demikian adanya, karena ajaran yang diperoleh seperti itu, yaitu berorientasi pasar. “Itu tidak selalu salah. Hanya karena pilpres maka neolib menjadi sensitif. Yang penting ekonom muda ke depan harus mempunyai keberanian yang tidak saja berorientasi pasar, tapi juga membela ekonomi rakyat,” tambah Zulkiflimansyah.

Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah dimaksud. Bisa jadi, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan kemiskinan.

Yang penting pula, bagaimana pemerintah pusat bisa mendrive pemerintah daerah untuk komitmen dalam pemihakan terhadap kepentingan ekonomi kerakyatan, bukan hanya sekedar ekonomi rakyat. (S.Age)

Read More.. Read more...

Siapa Yang Rusak Lingkungan: Orang Miskin atau Orang Kaya?

The greatest threat to the equilibrium of the environment comes from the way the economy is organized... ever increasing growth and accumulation (Ravaioli, 1995: 4)
Jika hutan kita menjadi gundul atau terbakar, sehingga lingkungan hidup kita rusak, siapa biang keladinya? Penduduk miskin di hutan-hutan dan sekitar hutan menebang hutan negara untuk memperoleh penghasilan untuk makan. Tetapi kayu-kayu yang diperolehnya ditampung calo-calo untuk dijual, dan kemudian dijual lagi untuk ekspor, yang semuanya “demi keuntungan”.
Siapa yang paling bersalah dalam proses perusakan lingkungan ini? Yang jelas tidak adil adalah kalau yang disalahkan hanya orang-orang miskin saja, sedangkan orang-orang kaya adalah “pahlawan pembangunan”.
  1. Apabila dikatakan penduduk miskin terbiasa ... “membuang kotoran manusia secara sembarangan yang akan berakibat pada terjangkitnya diare ...” atau “penduduk miskin hanya menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup, dan mereka cenderung mengabaikan pemeliharaan lingkungan sekitar”, kiranya pernyataan ini juga tidak adil. Pemenuhan kebutuhan pokok penduduk miskin bukan masalah “hanya”, tetapi “mutlak” harus dipenuhi untuk hidup. Penduduk miskin tidak memperhatikan lingkungan hidup sekitarnya bukanlah karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka melakukannya dengan terpaksa.
  2. Agar adil kita harus mengakui bahwa kerusakan lingkungan khususnya hutan, disebabkan para pemodal yang haus keuntungan, “memesan” kayu dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri yang memang permintaannya sangat besar pula. Akumulasi keuntungan dan kekayaan yang tidak mengenal batas harus dianggap sebagai penyebab utama kerusakan/pengrusakan hutan, bukan karena orang-orang miskin banyak yang merusak hutan. Maka untuk menjamin terjadinya pembangunan yang berkelanjutan kita harus menghentikan keserakahan orang-orang kaya. Adalah sangat keliru ilmu ekonomi justru memuja “keserakahan”.
  3. Perkembangan pedagang kaki lima (PKL) yang tumbuh menjamur dimana-mana, yang dianggap merusak lingkungan karena mengotori jalan dan mengganggu ketertiban, juga tidak mungkin ditimpakan kesalahannya pada PKL karena pekerjaan itulah satu-satunya “mata pencaharian” yang dapat dilakukan dalam kondisi kepepet. Ia menggunakan modal sendiri dengan resiko usaha ditanggung sendiri, tidak ada subsidi apapun dari pemerintah, dan memang ada pembeli terhadap barang/jasa yang ditawarkannya. Jadi dalam hal ini lingkungan yang rusak harus diselamatkan melalui upaya-upaya “pencegahan” munculnya PKL, bukan dengan “menggusurnya” setelah berkembang. PKL bukan “masalah” tetapi ”pemecahan” masalah kemiskinan.
  4. Kesimpulan kita, pendekatan terhadap masalah “pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap “pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan” selama ini kiranya salah dan tidak adil, karena melihat kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab kemiskinan itu. Akan lebih baik dan lebih adil jika para peneliti memberi perhatian lebih besar pada sistem ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era globalisasi masa kini. Sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila dengan lima cirinya sebagai berikut:
  • Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;
  • Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;
  • Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;
  • Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;
  • Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggung jawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    (Sumber: Jurnal Ekonomi Kerakyatan, 2004)

Read More.. Read more...

Ekora, Keberpihakan Sebatas Wacana?

Ada apa dengan ekonomi kerakyatan (ekora)? Kenapa semua Capres menjual isu ini dalam agenda perbaikan ekonomi rakyat bawah? Padahal dalam prakteknya, yang sudah-sudah, jauh panggang dari api. Para ‘penguasa’ selalu bilang pemberdayaan ekonomi rakyat, prakteknya justru tidak jarang menyingkirkan ekonomi rakyat.

Hari itu, seolah menjadi hari yang apes bagi Soleman (bukan nama sebenarnya, red). Betapa, setiap hari ia menggantungkan nasib dapurnya dengan berjualan kaki lima disebuah kawasan perdagangan di Banten. Semuanya berjalan seperti biasa, tak ada masalah. Malah, bila ada ‘petugas retribusi kebersihan dan keamanan, ia pun tidak banyak omong. “ya….., kan itu juga untuk kepentingan kita”, begitulah pikir Soleman sebelumnya.

Entah mimpi apa, saat itu pagi menjelang siang, sekira pukul 10.00, dagangan Soleman harus segera dikemas. Padahal, baru saja ia menggelar dagangannya. Kalau tidak, tahu sendiri, lapak dagangannya bakal ‘diamankan’ petugas.

“Ya…. Begitulah kang, nasib kami para pedagang kecil,” ungkap Soleman, saat ngobrol lepas di kiosnya, yang sangat jauh dari ukuran kelayakan usaha, orang-orang yang selalu bankisme.

Sendiriankah Soleman? Tidak. Banyak sekali semacam sosok Soleman, yang jungkir balik mengejar nafkah, walaupun terkadang kucing-kucingan dengan petugas. Mereka ada di seluruh wilayah Banten. Ironisnya, saat mereka memulai usaha, aparat pemerintah yang berwenang mengatur ‘zonasi’ usaha, bersikap biasa-biasa saja. Tapi, setelah mereka merasa tentram berjualan dan bisa menghidupi anak istrinya, tidak jarang digusur. Katanya, demi kebersihan dan keindahan kota.

Sedikit saja kita mau menelusur. Setiap pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Banten, akan merenovasi --bahkan ada yang merelokasi sebuah pasar, yang terkorbankan adalah pedagang-pedagang kecil, yang bermodal cekak dan sangat tidak hapal dengan perbankan. Lantas kebijakan seperti apa, yang akan diberlakukan dan harus dipatuhi oleh para pelaku ekonomi kecil (baca: kerakyatan)?

Mereka para pelaku ekonomi kecil yang tersingkirkan itu, umumnya minim akses dengan kalangan pengambil kebijakan. Baik dalam lingkup pemerintahan daerah maupun posisi tawar dengan ‘kelompok’ pengembang.

“Ini bukan nasib. Tapi sebuah bukti, masih belum berpihaknya kebijakan pemerintah terhadap pelaku usaha kecil,” ungkap Johari, aktifis Parlemen Pemuda Indonesia.

Dalam tulisannya, Mardiyatmo Hutomo, menyatakan bahwa rumusan konstitusi kita yang menyangkut tata ekonomi yang seharusnya dibangun, belum cukup jelas sehingga tidak mudah untuk dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya). Tetapi dari analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya cukup jelas.

Ruh tata ekonomi usaha bersama yang berasas kekeluargaan, ujar Staf Ahli pada Proyek Pengembangan Prasarana Perdesaan di Bappenas itu, adalah tata ekonomi yang memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat untuk berpartisiasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yang monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yang dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yang memberi peluang kepada seluruh rakyat atau warga negara untuk memiliki aset dalam ekonomi nasional.

Tata ekonomi nasional adalah tata ekonomi yang membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi oleh sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penjelasan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, tetapi tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan

Mana Wilayah Rakyat?
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ungkapan ini, layak pula disandang kaum pedagang dan pelaku ekonomi kecil, yang bermodal pas-pasan. Betapa, mereka banyak yang sudah tersingkir, kini harus berhadapan dengan kekuatan kelompok pelaku ekonomi kakap, yang sama-sama bertarung di pangsa pasar, yang sepantasnya garapan kelompok ekonomi kecil.

Tak percaya? Coba tengok deretan rak-rak di minimarket dan supermarket. Bedakah yang mereka jual, dengan yang dijual kelompok pedagang kecil di pasar-pasar tradisional, warung-warung kecil atau kaki lima. Nyaris sama. “Inilah sebetulnya yang menjadi pemicu persaingan yang tidak seimbang. Seharusnya, pemerintah daerah lebih memikirkan ekonomi rakyat kecil,” ungkap Gili, Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Serang.

Ketidakseimbangan dan merasa diperlakukan tidak adil, ini pula yang memicu kelompok-kelompok pedagang kecil mengorganisir diri. Bahkan, beberapa waktu lalu mereka sempat melakukan aksi-aksi jalanan. Karena saluran aspirasi mereka di lembaga parlemen daerah tersumbat. Sayangnya, organisasi-organisasi pedagang kecil ini, akhirnya banyak melahirkan petualang-petualang, dan bergerak untuk kepentingan sendiri dengan mengatasnamakan kelompok pedagang kecil.

“Itu hanya sebuah ekses saja. Intinya bukan disitu, pemerintah daerah dan kalangan wakil rakyat, harus cepat tanggap. Keputusan yang diambil, jangan mengacu pada keinginan penguasa tapi harus bermuara pada kebutuhan riil masyarakat kecil,” kilah Gili.

Menyikapi persoalan ini, lanjut Gili, memang harus bijak. Kuncinya ada di kalangan pemutus kebijakan. Celakanya, tidak jarang kebijakan yang diambil cenderung merugikan kelompok pelaku ekonomi kecil, dengan dalih untuk kemajuan daerah dan menambah pendapatan.

Menyoal ekonomi kerakyatan, tentu saja bukan sebatas pada kelompok para pedagang kecil dan mikro. Termasuk juga, mereka kelompok petani penggarap, buruh tani dan kelompok-kelompok warga miskin, yang hidup di sekitar hutan. Bahkan, kelompok yang terkahir ini, tidak jarang diklasifikasikan sebagai kelompok perambah hutan.

Ironisnya lagi, ketika mereka melakukan penambangan di wilayah hutan atau mereka yang buka lahan, selalu dipersalahkan. Betulkah demikian? Sementara, kelompok hilir –yang umumnya masuk kategori pelaku ekonomi menengah dan atas, tidak dipersalahkan. “Padahal, merekalah yang menikmati nilai lebihnya. Kalau yang disebut kecil-kecil itu, kan tenaganya doang, hasilnya mah sedikit,” ujar Arif aktivis LSM Pusaka Banten.

Jelas sudah, pemihakan terhadap wilayah ekonomi rakyat, baik pedagang kecil, petani penggarap dan buruh tani, maupun mereka yang selalu dianggap merambah hutan dan selalu dipersalahkan merusak lingkungan, masih kurang. Berharap pada mereka yang duduk di lembaga legislatif, sah-sah saja. Pun demikian, berharap dengan kepentingan eksekutif di pemerintahan daerah.

Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi rakyat, sama halnya dengan ekonomi kapitalis liberal atau ekonomi sosialis komunis, adalah watak atau tatanan ekonomi. Ekonomi kerakyatan adalah watak atau tatanan ekonomi dimana, pemilikan aset ekonomi harus didistribusikan kepada sebanyak-banyaknya warga negara. Pendistribusian aset ekonomi kepada sebanyak-banyaknya warga negara yang akan menjamin pendistribusian barang dan jasa kepada sebanyak-banyaknya warga negara secara adil. Dalam pemilikan aset ekonomi yang tidak adil dan merata, maka pasar akan selalu mengalami kegagalan, tidak akan dapat dicapai efisiensi yang optimal (Pareto efficiency) dalam perekonomian, dan tidak ada invisible hand yang dapat mengatur keadilan dan kesejahteraan.

Berubahkah nasib ekora, ketika republik ini punya pemimpin baru? Wait and see. Mungkin itulah jawaban sementara. (S.age)

Read More.. Read more...

suara anda:

ShoutMix chat widget

Pengunjung Ke:

Pengikut

Lorem Ipsum


  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP