Semua Bicara Ekora, Kenyataannya.....?
Gaung ekonomi kerakyatan, muncul ketika bangsa ini disadarkan dengan skenario krisis ekonomi, beberapa tahun silam. Pasca krisis, banyak kalangan yang menilai dan mengakui, bahwa mereka yang paling banyak bertahan dan tidak rewel minta proteksi pemerintah adalah kelompok pelaku ekonomi kecil dan mikro.
Demikian halnya dengan masalah redit macet, yang sempat menghebohkan republik ini. Kalangan pengamat menilai, sektor usaha kecil yang sudah punya kewajiban ke perbankan, kredit macetnya tidak seberapa, dibandingkan dengan mereka yang sudah banyak menikmati ‘fasilitas-fasilitas’ negara. Tapi, pada kenyataannya kelompok usaha kecil tetap saja terpinggirkan. Ada apa?
Ketika perhelatan pemilu legislatif kemarin, nyaris semua partai mengusung isu masalah-masalah ekonomi rakyat. Biasa, apalagi kalau bukan untuk menarik simpati konstituen. Ini bisa kita lihat dari program-program yang disodorkan partai peserta Pemilu legislatif kemarin.
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak sampai melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir tidak dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, adalah benar. Tetapi itu semua ternyata tidak berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yang sumber penghasilannya bukan dari menjual tenaga kerja
Ngurusi kerakyatan (baca: kelompok kecil dan mikro), memang sangat tidak menguntungkan. Beda dengan ngurusi mereka yang bankable. Biasa, ngurusi yang kecil paling banter serice dengan pisang goreng. Sementara yang besar....? Ini pula yang banak disoroti kalangan pegiat kampanye ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat semata.
Menyoal perlunya pemihakan pada ekonomi wilayah kerakyatan, kelompok Capres MegaPro, SBY Berbudi, dan JK-WIN, semuanya seolah menyuarakan hal yang sama: kembali ke ekonomi kerakyatan. Hanya saja, kemasan yang mereka tampilkan berbeda. Ini bisa kita saksikan, saat ketiga pasang Capres – Cawapres tersebut berbicara di kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
Sebut saja, calon wakil presiden Boediono yang diusung koalisi pimpinan Partai Demokrat menyampaikan tiga platform ekonomi kerakyatannya. Katanya, platform inilah yang akan disosialisasikan kepada masyarakat pada kampanyenya. Tiga hal tersebut adalah kesejahteraan rakyat, pemerintahan yang bersih, dan demokrasi.
Demikian pula dengan Konsep ekonomi kerakyatan yang diusung pasangan Megawati-Prabowo menjadi materi yang dipertanyakan para pengusaha, pada Dialog Calon Presiden 2009, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Sebelum ditanya pengusaha, Mega sudah menjelaskan terlebih dahulu bahwa ekonomi kerakyatan tidak serta-merta menyingkirkan pelaku industri.
"Saya sudah menyangka, saya kan selalu berbicara wong cilik, pasti akan ditanya bagaimana industri? Kalau disingkirkan, alangkah naifnya saya," ujar Mega pada acara yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Menurutnya, pengusaha dan rakyat pelaku ekonomi mikro memiliki tempat masing-masing. "Pengusaha ada tempatnya. Rakyat, wong cilik, yang menjadi pelaku ekonomi mikro juga punya tempatnya. Mereka, pelaku ekonomi mikro ini, perlu dibantu bagaimana mengangkatnya. Jadi, pengusaha dan kita semua diberikan kesempatan untuk bersama-sama membangun Indonesia tercinta ini," ujar Mega.
Para pelaku ekonomi mikro, menurutnya, perlu dibantu dan dibangun sinergi dengan para pelaku industri besar. "Usaha kecil itu biasanya di hulu, usaha besar dari tengah sampai hilir. Kalau saja akses dari hulu ke hilir ini dibuka, alangkah hebatnya. Yang kecil ini harus diberikan petunjuk, ke mana arah jalan mereka," ujar Ketua Umum PDI Perjuangan ini.
Megawati menjelaskan ekonomi kerakyatan yang diusungnya, yaitu ekonomi yang berdaulat tanpa tergantung dengan negara lain. "Berdiri di atas ekonomi sendiri," kata Mega
Bagaimana dengan JK-WIN? Dalam pandangan Jusuf Kalla, seperti dilansir Republika, posisi sektor riil sangat penting dalam perekonomian negara. Kegiatan ekonomi rakyat banyak berkutat di sektor ini.
Menyoal pasar tradisional, misalnya, JK melihat bahwa pasar Tradisional memiliki peran sangat penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Selain itu, pasar Tradisional memiliki peran sangat penting dalam memberdayakan ekonomi rakyat dan lebih jauh pasar tradisional merupakan urat nadi perekonomian Indonesia.
Tak Sejalan Konstitusi
Bagaimana kata pengamat ekonomi? Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, menilai visi kebijakan ekonomi yang dibeberkan oleh ketiga pasang capres yang akan bertarung 8 Juli mendatang ahistoris—tidak sejalan dengan amanat konstitusi.
"Konsep ekonomi ketiga capres masih jauh dari amanat Pasal 33 (1) UUD 1945. Di mana ekonomi kerakyatan itu berpijak pada tiga pilar pelaku ekonomi kerakyatan yakni koperasi, BUMN dan swasta," kata Ichsanuddin Noorsy, seperti dilansir Surabaya Post.
Menurut Ichsanuddin, Mega-Pro hanya menempatkan koperasi di prioritas terakhir dan kecil. Jadi belum terlihat konsep ekonomi kerakyatannya. "Kampanye Presiden AS Barack Husein Obama menegaskan melindungi konstitusi, lalu apakah pemerintah selama ini menjalankan konstitusi. Itulah yang tidak dijawab para capres," tuturnya.
Lebih jauh mantan anggota DPR F-PG ini menjelaskan, dari berbagai kebijakan ekonomi dan UU yang disahkan oleh DPR dan pemerintah seperti rekapitalisasi perbankan, UU BUMN, pertanahan dan lainnya, yang mendapatkan manfaat bukan rakyat. "Tapi sebesar-besarnya untuk asing. Jadi, ekonomi kita masih terintervensi oleh asing,” katanya.
Dia umpamakan, utang baru dari World Bank sebesar 6,5 miliar dollar AS, ADB 43 miliar dollar AS dan masih banyak lagi. Maka, siapapun presiden yang terpilih tetap akan terikat dengan utang-utang itu, ujarnya.
Ditambah lagi, kini KPU membolehkan pejabat negara berkampanye. “SBY-JK bertarung saja sudah mengganggu jalannya pemerintahan, apalagi kalau menteri-menteri ikut kampanye, maka akan makin amburadul,” tegas Ichsanuddin.
Sementara tim sukses Mega-Pro Hasto Kristiyanto (PDI Perjuangan), mengakui jika pemerintah dan DPR merupakan lembaga tinggi negara yang memberikan andil besar terhadap suburnya ekonomi neoliberal. “Investor asing, pengelolaan sumber daya alam, perdagangan pasar bebas, Perppu 21/2007 yang menjadi UU (free trade zone) untuk Batam dan Karimun adalah jelas neoliberalis, jatuhnya harga-harga pertanian dan lainnya jelas merugikan rakyat,” ujar Hasto.
Menurut Hasto, pemerintahan SBY sekarang ini hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan sektor riil. "Karena itu wajar jika asing yang selalu diuntungkan dalam proyek-proyek strategis Negara seperti Free Port, minyak di Balongan Cilacap Jateng, minyak Blok Cepu, Bojonegoro Jatim, sehingga utang terus bertambah dan rakyat senang menerima tunai langsung dari utang tersebut karena tidak tahu sumbernya.
Hal senada ditegaskan anggota Fraksi PKS Zulkiflimansyah. "Konsep neoliberal tidak selalu berbuah manis. Menkeu Sri Mulyani dan Boediono memang demikian adanya, karena ajaran yang diperoleh seperti itu, yaitu berorientasi pasar. “Itu tidak selalu salah. Hanya karena pilpres maka neolib menjadi sensitif. Yang penting ekonom muda ke depan harus mempunyai keberanian yang tidak saja berorientasi pasar, tapi juga membela ekonomi rakyat,” tambah Zulkiflimansyah.
Walaupun berbagai program penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak mampu memecahkan masalah-masalah dimaksud. Bisa jadi, yang kita butuhkan saat ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali strategi pembangunan yang cocok untuk Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh benar, maka sebenarnya semua program pembangunan adalah sekaligus menjadi program penanggulangan kemiskinan.
Yang penting pula, bagaimana pemerintah pusat bisa mendrive pemerintah daerah untuk komitmen dalam pemihakan terhadap kepentingan ekonomi kerakyatan, bukan hanya sekedar ekonomi rakyat. (S.Age)