Maret 02, 2009

Sepuluh Moral Politik Dalam Kesultanan Banten

  • Tinjauan Manuskrip Banten
By Tb. Najib, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Dalam masa Reformasi ini marak pemilihan kepala Daerah, hal yang tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, khususnya pada masa orde Baru. Munculnya kepemimpinan Daerah ini sehingga muncul beberapa pertanyaan, sudah sampai sejauhmana ia siap memimpin Daeranya dan apa yang sudah ia ketahui tentang perjalanan proses kepemimpinan di Banten dan apa hikmah yang bisa diambil dari proses kepemimpinan tersebut? Berikut ini akan dipaparkan Model tokoh pilihan kepemimpinan di Banten dan akan dipaparkan juga 10 Moral Politk Dalam Kesultanan Banten berdasarkan tinjauan manuskrip.



Tokoh Moralis tergeser dan diganti dengan Tokoh Fiktif yang dikenal dengan Tokoh Ratu Adil. Pada saat kekosongan tokoh Moralis atau pada saat adanya harapan kosong, kolonial memunculkan Tokoh Matrialis yang penuh kebohongan, hipokrit, tipu muslihat demi keuntungan materi diri dan kelompoknya. Nilai kemaslahatan manusia telah digeser. Karena itu hati-hati terhadap munculnya Ratu Adil yang katanya turun membawa keadilan, kemakmuran dan kesejehateraan namun yang sesungguhnya Ratu Adil itu bikinan kolonial untuk menggeser tokoh moralis yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan kolonialisme. Karena tokoh moralis memiliki empatik dan simpatik dihati masyarakat dan ketauladanannya akan diikuti. Runtuhnya tokoh moralis telah menimbulkan krisis kepemimpinan, kepercayaan pada masyarakat. Tokoh moral yang bagaimanakah yang diidolokan atau ditokohkan oleh masayarakat Banten?. Dan bagaimana moral politik yang pernah hidup di Banten sejak masa Kesultanan Banten.

Peran Tokoh Moralis
Pemilu kedua pasca Reformasi telah menjadi pelajaran bagi kaum muda, bahwa bagaimanapun hebatnya sistem ternyata tidak membawa poerubahan signifikan bagi bangsa ini, yang menjadi sorotan kaum muda adalah mental/moral pelaksana sistem. Sejarah telah mencatat. Bahwa setiap pergantian sistem permasalahan esensi tentang bangsa ini seperti, kemiskinan tidak pernah terpecahkan, walaupun telah memiliki dasar sumber hukum, baik pada hukum negara maupun hukum agama. Tetapi kemiskinan bukannya dapat ditekan malahan semangkin meningkat, sehingga sekarang muncul istilah kemiskinan baru yang disebut dengan kemiskinan terselubung, kemiskinan intelektual, kemiskinan ahlaq dll. Bahkan kemiskinan dijadikan sebuah proyek seperti proyek pengentasan kemiskinan.

Disamping munculnya istilah baru kemiskinan, juga kemiskinan dijadikan tumbal, dijadikan bemper, dijadikan jembatan, dijadikan promosi, dijadikan kampanye menuju perbaikan nasib dirinya, menaikkan gengsi status sosial dan menjadi elite baru dengan cara sesingkat-singkatnya melalui pedidikan kilat untuk memperoleh sertifikate menuju perbaikan nasib. Cara seperti itu, bagaikan seorang yang membelah bambu, diangkat bagian atas dan diinjak bagian bawahnya.
Kemiskinan telah menghantar kejenjang sesorang untuk duduk dalam sebuah kursi yang diperebutkan, setelah mendapat kedudukan lupa berdiri, rupanya isu kemiskinan masih aktual untuk mempertahankan kedudukan, lagi-lagi kemiskinan menjadi tameng, bemper, jembatan. Hanya bukan untuk menarik suara tetapi untuk menarik dana.

Inikah yang disebut dalam Firman Allah bahwa mereka telah menjual nama anak yatim, fakir miskin, sebagai isyu politik untuk menarik simpati masyarakat. Orang-orang semacam itu akan dimasukkan dalam api neraka wel. Padahal menyantuni anak yatim, fakir miskin adalah kewajiban individu yang memiliki kecukupan harta karena di dalam hartanya terdapat hak anak yaitm, fakir miskin.

Sirkum likusi, lingkaran setan pada masa orla, dan orba akan muncul kembali bahkan lebih hebat lagi, tidak lagi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang telah kemasukan lingkaran setan juga masyarakat bahkan institusi agamapun akan terkena lingkaran setan.

Demikian juga masyarakat miskin akan terbiasa dengan pola-pola kebohongan, mereka cukup puas dengan bagi-bagi sembako, bagi-bagi kaos, bagi-bagi indomie. Sisi lain model bagi-bagi semacam itu tidak mendidik. Pola kebohongan kalau dibiarkan akan melembaga atau membudaya dan dianggap biasa, sehingga secara tidak disadari yang meningkat atau yang maju adalah sistem kebohongannya.

Sejarah kebohongan telah ditanamkan oleh kolonial, mulai dari pandangan terhadap ketokohan, pandangan hidup matrialistis dll.. Dalam pandangan ketokohan telah disusupkan konsep tokoh abstrak /fiktif yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan, sementara tokoh kongkrit dalam sejarah lokal, dimusnakhan atau disebutkan sebagai tokoh legenda. Tokoh fiktif yang dimunculkan atau dipopulerkan oleh kolonial adalah tokoh Ratu Adil/ Tokoh Imam Mahdi/Missianisme. Tokoh Ratu adil dibesar-besarkan dan diharap-harapkan kemunculannya, pada saat kita berharap kosong, pada saat itulah kolonial masuk memberi harapan real yang penuh kebohongan.

Dalam pandangan matrial, telah membunuh mental/charakter masyarakat dari pandangan moral/religius ke pandangan matrialistis. Satu-satunya kebenararan, satu-satu nya yang paling hebat, satu- satunya yang disembah, satu satunya yang mengayomi adalah matrial. Sehingga kepercayaan terhadap seorang tokoh terbatas sampai sejauhmana tokoh tersebut memiliki materi. Sebaliknya bagi soerang tokoh yang tidak memiliki matrial, dianggapnya kurang memberi manfaat. Karena dasarnya materi seorang tokoh pun akan berfikir sejauh ada materinya, artinya setelah diperoleh, maka seorang tokoh akan memilih suara materi dibandingkan suara kemiskinan. Sebaliknya bagi sseorang tokoh yang memiliki pandangan moral, maka titik tolaknya pun sejauh ukuran moral.

Tokoh moralis tidak hanya akan mengayomi masyarakat, sehingga mampu menarik empatik dan simpatik masyarakat, juga akan mengusik kelanggengan kolonialisme. Dan gerakan moral tersebut akan mampu menumbangkan kekuatan yang memiliki teknologi berat seperti kolonial. Ingat emberio charakter moral Panembahan Maulana Hasanuddin, telah muncul kembali ke dalam perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ia dikenal dengan musuh besar kolonial, lalu muncul lagi ke dalam perjuangan Sultan Rafiuddin yang telah menggagalkan korban besar-besaran pada masyarakat Banten dengan kerja rodinya, berikutnya muncul pada perjuangan diri K.H.Wasyid dst, dengan kata lain pola perjuangan berikutnya telah dikendalikan oleh seorang tokoh ulama, dan pesantren sebagai bentengnya.

Karakteristik Tokoh Moralis
Legitimasi transedental dan intransedental atau legitimasi natural dan supranatural merupakan modal dasar bagi kepemimpinan ketimuran. Dalam catatan sejarah modal dasar tersebut coraknya atau modelnya yang berubah-ubah, namun esensinya tetap menganut konsep ketimuran.

Suksesnya suatu kepemimpinan tergantung dari nilai esensi yang dimilikinya. Sukses dalam membawa /mengemban amanat aspirasi rakyat yang dipimpinan dan sukses dalam mengemban sifat-sifat Ilahia yang juga seharusnya dimiliki oleh manusia. Atau pimpian sebagai wakil Allah dimuka bumi.

Kepemimpinan legitimate “ganda” yang merupakan model kepemimpinan ketimuran, di Banten telah muncul semenjak masa prasejarah, klasik dan Islam. Berikutnya terjadi revolusi kepemimpinan oleh kolonial yang membawa model kepemipinan legitamate tunggal
Revolusi kepemimpinan dari pejabat regent hingga pejabat onder regent (Demang). Disamping itu juga terjadi revolusi mekanisme untuk menjadi pimpinan dalam pemerintahan antara lain ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh pejabat tertinggi. ( asasten Residen, Residen Gubernur Jenderal dan seorang Ratu).

Revolusi kepemimpinan tersebut ada sesuatu yang dikorbankan atau ada sesuatu yang hilang yaitu aspek ikatan transedental atau aspek ikatan supranatural. Aspek transendental hanyalah sebuah bayangan atau simbol utuk melegitimasi kepemimpiannya, karena ia hanya sebagai simbol atau bayangan saja, sehingga yang muncul dalam kepemimpinan sifat hipokrit, basa basi, ABS, kebohongan publik, kepura-puraan, berlindung dibalik kemiskinan, berlindung dibalik demokrasi, belindung dibalik rakyat dll Kitab suci yang dijadikan saksi sumpah jabatan merupakan pelecehan agama.

Banten yang mayoritas beragama Islam, memberikan suatu kepercayaan yang tinggi terhadap seorang pemimpinnya, karena dalam Islam seorang pemimpin adalah “ulil amri minkum”, yaitu “ wajib” untuk dilaksanakan aturannya. Tentu yang dimaksud adalah pemimpin yang memiliki aspek transenden ( yang mengaplikasikan nilai-nilai atau sifat-sifat ilahiat dalam kehidupannya).

Lunturnya kepercayaan karena telah terjadi pergeseran nilai kepemimpinan dari bentuk kepemimpinan legitimate ganda ke bentuk kepemimpinan legitimate tunggal, ia hanya bertanggung jawab secara horizontal, sehiggga tanggungjawabnya bersifat semu, setengah hati, sementara ucapan dan janji-janji politik yang diingkarinya tidak ada sangsi hukumnya. Sehingga secara leluasa seorang pemimpin mudah mengingkari janjinya, sebaliknya bagi seorang pemimpin yang memiliki legitimate ganda, walaupun tidak ada sangsi hukum positif, ia tidak akan mudah mengingkari janji, karena ikatan janjinya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.

Akhir-akhir ini muncul sistem baru/mekanisme baru yang hendak mengubah bentuk kepemimpinan yang mengalami pergeseran nilai. Persoalanuya adalah mungkinkah mekanisme/sistem baru itu akan mengubah karakter kepemimpinan ? Apakah perubahan sisitem/mekanisme itu menjamin perubahan karakter terhadap kepemimpinan ke arah yang lebih baik ? Karena bagaimnapun hebatnya/modernnya suatu sistem bilamana pelaksana sistem tersebut tidak memiliki semangat moral/ semangat religius, maka sistem hanyalah sebagai simbol atau hanyalah sebagai tameng untuk menghalalkan segala cara. Karena kepimpinan tampa dilandasi semangat/motivasi moral maka akan terjadi Power tends to corrupt ( kekuasaan itu cenderung diselewengkan, disalah gunakan/dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Nampaknya perubahan sistem/mekanisme pemilihan kepemimpinan harus diimbangi dengan perubahan paradigma pimpinannnya dari pandangan legitimasi tunggal intransedental/natural/horizontal ke pandangan yang memiliki legitimasi ganda tidak hanya intransedental/natural juga memiliki pandangan transedental/supranatural/vertikal.

Model Tokoh Pilihan di Banten
Secara umum kepemimpinan berkaitan erat dengan tiga jenis; otoritas seperti yang dikemukakanoleh Weber, yaitu otoritas legal-rasional, otoritas tradisional dan otoritas kharismatik.

Otoritas legal-rasional adalah otoritas yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang berkuasa atas dasar peraturan-peraturan. Otoritas tradisional adalah otoritas yang didasarkan atas kepatuhan karena hormat terhadap pola tatanan lama yang telah mapan. Otoritas kharismatik adalah otoritas yang didasarkan atas pengabdian terhadap kesucian, kepahlawanan, keteladanan serta pola-pola atau tatanan normatif yang diperlihatkan oleh seorang pemimpin.(Max Weber 1964:328)

Dalam catatan sejarah di Banten kepemimpinan ulama, masih dominan hingga saat ini, Ulama dalam masa awal di Banten ia sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin negara, Syarif Hidayatullah merupakan satu-satunya walisongo yang menduduki jabatan pemimpin pemerintahan, walau ia tidak lama, namun sifat Syarif Hidayatullah tersebut diturunkan pada putranya, Hasanuddin, seingga ia dijuluki Panembahan yang berarti gelar kehormatan bagi raja dan juga dijuluki Maulana yang berarti gelar kehormatan bagi ulama besar atau sufi ( KBI 2001: 725)

Pada masa awal Kemerdekaan, kepemipinan ulama kembali tampil untuk mengisi jabatan-jabatan puncak dalam pemerintahan di Banten. Walaupun kolonial telah mempersiapkan tongkat estafet di luar kepemimpinan ulama, namun masyarakat mempunyai kehendak lain, mereka lebih memilih ulama sebagai pengayomnya. Jabatan-jabatan ulama pada awal-awal kemerdekaan di Banten anatara lain; Residen Banten K.H.Tubagus Ahmad Chatib, Bupati Serang K.H.Tubagus Sam’un, Bupati Lebak K.H.Moh. Hasan, Bupati Pandeglang K.H. Abdullah, dan Bupati Tanggerang K.H. Tubagus Amin Abdullah

Bilamana kata Ulama muncul pada masa Islam di Indonesia, khususnya di Banten, yang embrionya dari tradisi kuna orang-orang suci. Hasanuddin adalah seorang sosok pimpinan yang memiliki gelar Panembahan (gelar kehormatan bagi seorang raja) dan gelar Maulana ( gelar kehormatan bagi ulama besar atau sufi). Ketauladanan ayahnya Syarif Hidayatullah telah mengalir pada putranya.

Pada masa runtuhnya kesultanan, benteng pemerintahan adalah pesantren-pesantren. Para zuriat kesultanan menyebar ke berbagai daerah untuk mendirikan pesantren. gelar-gelar kesultanan ditanggalkan, karena kolonial berjanji akan membumi hanguskan anak cucunya. Karena kolonial beranggapan dosa ayahnya akan diturunkan pada anak cucunya, tradisi kolonial ini juga pernah diterapkan terhadap PKI, oleh orde baru. Tradisi kolonial yang memiliki kepercayaan adanya dosa turunan, telah dialami oleh Saddam dan anak cucunya yang terus diburu.

Setelah runtuhnya kesultanan, muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial, sehingga dalam caatatan sejarah Banten dikenal sebagai daerah bergejolak (lihat Sartono Kartodirjo), dan juga Banten dikenal dengan Musuh Besar Kolonial ( lihat Uka Tjandrasasmita).

Dalam mengahadapi musuh bersama “ kolonial”. Masyarakat Banten bersatu, Kesatuan masyarakat ini dalam perjalanan berikutnya sehingga dikenal dengan Ulama, Umaro dan Jawara. Khususnya umaro, dari tingkat regen ke bawah yang dijabat oleh pribumi (Banten), dalam saat-saat menghadapi musuh bersama ia membantu dalam bentuk spirit dan informasi. Hal tersebut sulit ditemukan dalam etnis manapun. Demikian juga jawara. Dalam catatan sejarah umaro dibesarkan oleh kolonial, namun jawara tidak dibesarkan oleh kolonial, ia adalah tatanan khas Banten. Dalam hasil riset STIE la tansa Mashiro, telah disinggung tentang Jawara, bahwa Jawara identik dengan Jaro. Jaro adalah sebagai jabatan pimpinan Desa yang memiliki kepedulian social yang tinggi. Nampaknya pengertian tersebut sama dengan makna dalam bahasa. Secara etimologi, Jawara berasal dari kata Ja dan Wara. Ja berarti kelahiran dan wara berarti kesucian. Jawara berarti orang yang memiliki sifat luhur dalam membela yang lemah, atau tertindas karena kesewenang-wenangan atau penindasan terhadap kaum lemah.

Sepuluh Moral Politik
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, budaya (seperti yang diungkapkan dalam data Dagh Register dan Piktorial) telah mendorong sultan Abul Mafakhir mengirim utusan untuk mengajukan beberapa pertanyaan masalah politik dalam kesultanan Banten kepada Syarif Makkah yang bernama Syarif Zaid bin Mukhsin (1016-1077 H/1607-1666 M) sekaligus memohon kepada Syarif Makkah agar dikirim seorang Mufti yang bernama Ibn ‘Alan (Muammad Ali bin Allan As-Shiddiqi).


Untuk permohonan yang kedua tidak bisa dipenuhi, hanya saja Ibn ‘Alan sebagai seorang Mufti telah memberi jawaban atas pertanyaan politik yang diajukan oleh sultan Abul Mafakhir Abdul Qadir. Tanya jawab tentang politik tersebut telah dimuat dalam sebuah naskah tersebut di atas yang berjudul “Kitab al-Mawahib ar-Rubaniyah ‘Anil As’ilatil Jaawiyyah” ( al-Mawahib bentuk jamak dari kata al-Mauhibatu, berarti pemberian, karunia; ar-Rabaniyah bentuk masdar dari kata Rabbani berarti ketuhanan, an berarti ihwal, al-as’ilat bentuk jamak dari ka su’aalun, berarti pertanyaan-pertanyaan dan al-Jawiya ialah Jawa. Berarti Karunia Ketuhanan Ihwal Pertanyaan-Pertanyaan dari Jawa)



Kesepuluh bentuk tanya jawab tersebut antara lain: otoritas penguasa dalam pelaksanaan hukum Islam, sejauhmana otoritas penguasa dalam menerapkan hukuman, apakah ia berwenang untuk menambah atau mengurangi suatu hukuman atau tidak? Menurut Ibn ‘Alan, penguasa memang memiliki otoritas dalam penerapan hukuman namun otoritas itu tidak tak terbatas, batasan bagi otoritas itu adalah kesesuain kebijakannya dalam menerapkan hukuman dengan ketentuan-ketentuan syariat selama kebijakannya selaras dengan syariat maka hal itu absah adanya tapi jika berlawanan dengannya maka ia telah melenceng.



Tentang kewibawaan penguasa dan cara pencapaiannya Bagaimana kewibawaan penguasa dan cara pencapaiannya? Menurut Ibn ‘Alan penguasa harus mengelola kekuasaannya secara baik dan berlaku adil, kasih sayang dan perhatian terhadap segala persoalan yang dihadapinya (rakyatnya). Sultan Abdul Mafakhir dikenal sebagai seorang yang memperhatikan kepentingan rakyatnya. Ia sering keliling ke desa-desa untuk mengontrol sawah-sawah rakyatI ia tidak segan-segan untuk keluar malam memonitor keadaan rakyatnya; ia suka melakukan audensi dengan rakyatnya tampa mengambil jarak dengan rakyatnya. Tempat audensi tersebut disebut Dipangga atau juga dilaksanakan di Sitinggil atau Sitiluhur ( Djayadingrat, 1983:71 ).



Tentang relasi keadilan dan kemakmuran negara. Bagaimana hubungan keadilan dengan kemakmuran negara?. Menurut Ibn ‘Alan bahwa ada relasi kuat antara keadilan dengan kemakmuran negara. Lalu Ibn ‘Alan memberi contoh bahwa penguasa kafir yang adil dalam setiap kebijakannya akan lebih langgeng kekuasaannya dibanding dengan penguasa muslim yang hanya memperhatikan kepentingan pribadinya dan mengabaikan rasa keadilan.



Tentang politik, ketegasan dan pemberian ampun. Bagaimana tentang politik, ketegasan dan pemberian ampun ?.Jawab, bahwa kebijakan apapun yang ditempuh penguasa adalah keselarasan dengan syariat (ma nafaqo as-syaria) bukan apa yang diungkapkan syariat (ma nathaqa bihi as-syar’u). Nafas setiap kebijakan penguasa adalah keselarasan dengan syariat dan kemaslahatan. Kebijakan yang melahirkan destorsi dan destruksi dalam masyarakat tidak bernilai apa-apa (la ‘ibarata lisiyasatin mushadi matin li as syr’I).



Tentang sikap terhadap pejabat dan ulama. Menurut Ibn ‘Alan agar keduanya selalu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan apapun, mereka harus dimintai pertimbangan dalam memutuskan perkara-perkara.



Tentang pembiayaan tentara dan tugas mereka. Menurut Ibn ‘Alan, dana pembiayaan tentara diambil dari dana alokasi umum dalam bait almal selain dari pada zakat dan agar dana dipungut melalui cara yang baik. Tugas tentara adalah menjalankan tugas negara atas kebijakan penguasa dan harus menjaga kepentingan rakyat dan tidak sewenang-wenang. Tentara dalam kesultanan Banten dikuasi oleh para bangsawan dan orang-orang kaya sedangkan dalam kesultanan tidak begitu banyak dan lebih merupakan tentara bayaran.



Tentang pungutan dan hibah terhadap rakyat. Menurut Ibn ‘Alan apabila pungutan yang dilakukan penguasa itu berbentuk zakat dan kifarat maka jumlahnya harus sesuai dengan yang ditetapkan syariat tampa lebih atau kurang, tetapi apabila pungutan itu berbentuk edukatif (ta’zir) dari suatu kejahatan maka ketentuannya diserahkan kepada kebijakan penguasa atau hakim. Yang perlu diperhatikan adalah kemaslahatan dan bahaya dari pungutan tersebut. Selain zakat dan kifarat maka ketentuannya tergantung pada kebijakan penguasa sesuai kondisi dan kemampuan sosial-ekonomi rakyat. Tentang hibah apabila obyek hibah bersumber dari kekayaan yang bersifat syar’I maka jumlah dan ketentuannya mengikuti ketentuan syariat pula. Penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam mendistribusikannya.



Tentang sewa tanah, cukai perdagangan dan pajak. Menurut Ibn ‘Alan bahwa penguasa tidak boleh mengambil sewa tanah yang digunakan untuk kegiatan perekonomian rakyat, seperti pedagang kaki lima, rumah penginapan, tempat ternak dsb. Pungutan ini tidak berhak diambil baik dari warga merdeka maupun budak selama aktifitas mereka tidak menggangu kenyamanan pihak lain. Penguasa tidak boleh mengambil pungutan berbentuk cukai dari pedagang muslim, selain dari pada zakat. Pungutan cukai hanya boleh dikenakan kepada para pedagang non-muslim yang bertransaksi di wilayah Islam.



Tentang tata cara salat, sifat-sifat Allah dan masalah wujud dan tentang makna pikiran. Tentang tata cara salat, hal itu dimajukan oleh sultan Abul Mafakhir Abdul Qadir karena salat merupakan fundamen, cermin dalam suatu kehidupan, hanya saja dalam catatan naskah kurang mendapat jawaban dari Ibn ‘Alan, mungkin karena maslah tata cara ini sudah baku. Sementara pertanya tentang sifat-sifat Allah dan masalah wujud, hal itu dimajukan sehubungan dengan sedang aktualnya terjadi di Indonesia tentang aliran tarekat yang beraliran ortodok dan heteredoks, juga Ibn ‘Alan tidak menjawabnya, demikian juga tentang makna pikiran.( lihat Sudrajat, 2002: 139-160)



Simpulan
Menggeliatnya masalah-masalah politik dalam kesultanan Banten terjadi pada masa sultan Banten ke-4 yaitu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang memerintah tahun 1596-1651.



Menggeliatnya masalah-masalah politik, karena tuntutan perkembangan sosial, ekonomi, budaya, perkembangan kota dll. Hal itulah yang menuntut Sultan Abdul Mafakhir mengirim utusan ke Makkah mengajukan 10 pertanyaan. Nampaknya dari kesepuluh pertanyaan tersebut, dominan ditujukan pada kepemimpinannya atau sebagai bekal bagi sultan-sultan Banten berikutnya. Dari kesepuluh pertanyaan tersebut cenderung pada masalah etika penguasa dalam kekuasaannya. Dengan kata lain aturan etika politik lebih ditekankan pada elit birokrasi. Bilamana elit birokrasinya baik maka aturanpun akan diikuti oleh rakyatnya tetapi sebaliknya bilamana elit birokrasinya buruk maka rakyat tidak akan merespon apapun bentuk kebijakan tersebut.



Karena itu landasan politik dalam kesultanan Banten prioritasnya adalah penerapan etika penguasa dalam kekuasaannya. Seorang pemimpin adalah pemegang amanah dan ia akan mempertanggung jawabkan apa yang diemban dalam kepemimpinannya. Pedamping kesultanan atau penasehat kesultanan memegang peranan penting dalam otoritas kesultanan Banten.



Pada masa awal pemerintahan Abul Mafakhir, ia telah meminta bantuan Mufti Ibn Alan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang urgen pada waktu itu, atau 10 pertanyaan dari sultan Abul Mafakhir. Pada masa berikutnya seorang pedamping kesultanan dalam kesultanan Banten dikenal dengan Qadhi. Nampaknya ketentuan-ketentuan hukum sangat penting dalam menentukan arah dan kebijakan sultan. Mengingat penting dan rumitnya masalah hukum sehingga sultan memberi gelar pada keahliannya dengan sebutan Fakkih Najmudin. Gelar tersebut disandang oleh Entol Kawista. Kata-kata Fakhih sebagai suatu gelar juga telah diabadikan dalam suatu nama permukiman yang dikenal dengan nama Kefakihan.



Dalam masa stagnasi peran Qadhi sudah tidak lagi digunakan dan pemerintah kolonial mempopulerkan nama Penghulu yang fungsinya tidak lagi menangani masalah-masalah kenegaraan, tetapi hanya menangani masalah agama khususnya tentang pernikahan dan diangkat oleh pemerintah kolonial (Pijper, 1984:67).



Birokrasi lainnya sebagaimana yang disebutkan oleh Uka Tjandrasasmita ialah Punggawa-punggawa dan Tumenggung. Dagh Register telah menyebut nama Queey Nrantaque, semasa dengan sultan Abul Mafakhir sebagai pejabat urusan dalam negeri kesultanan dan juga disebut Queey Chlli/Ki Cilipati sebagai pejabat urusan luar negeri. ***

Read More.. Read more...

suara anda:

ShoutMix chat widget

Pengunjung Ke:

Pengikut

Lorem Ipsum


  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP