September 23, 2010

Bata Merah Sukaraja, Perajinnya Kesulitan Permodalan

Ditengah menjamurnya program bantuan untuk kelompok usaha mikro kecil dan koperasi, ternyata belum menembus kehidupan para perajin batu bata merah di Desa Sukaraja Kecamatan Malingping Kabupaten Lebak. Dari usaha kerajinan batu bata merah inilah, sejatinya laju perekenomian desa, menggeliat. Tidak seperti saat ini, mereka banyak yang terjerat pinjaman dana tengkulak.

Informasi yang diperoleh Banten Ekspose, 70 persen penduduk dari 18 RT yang ada, mayoritas menjadikan usaha batu bata merah, sebagai sandaran ekonomi keluarga. Untuk lebih memaksimalkan usaha ekonomi warga Desa Sukaraja Malingping, umumnya perajin mengeluhkan persoalan biaya produksi. Solusinya, ya mereka pinjam ke tengkulak. Diakui para perajin, bahwa hal tersebut tidak banyak memberikan nilai lebih atas produksi mereka.

Para perajin bata merah di desa ini, umumnya mengembalikan pinjaman dana untuk ongkos produksi kepada tengkulak, dengan cara menjual hasil produksi mereka ke tengkulak. Tentu saja, harga ditentukan oleh tengkulak. Mereka umumnya menjual Rp 230 hingga Rp 280 per biji. Padahal harga yang jatuh ke konsumen mencapai angka Rp 350 hingga Rp 400 per bijinya. Bila saja, komunitas perajin bata merah ini terorganisir, tidak menutup kemungkinan mereka merasakan nilai lebih, yang kini banyak dinikmati para tengkulak.

Sebut saja Mahmud. Pria berusia 31 tahun ini, merupakan salah seorang pengusaha sekaligus perajin bata merah, yang kini mempunyai 3 areal percetakan bata. Untuk mengelolanya, warga Kp Sukaraja ini, dibantu oleh lima orang. Rata-rata satu orang pekerja bisa menghasilkan 700 hingga 800 batang perhari.

Dalam pengakuan Mahmud, untuk biaya produksi bata merah miliknya dia mesti meminjam modal dulu kepada tengkulak. Pinjamanya berpariatif Rp 3 - 4 juta rupiah. Modal pinjaman itu pula, yang dijadikan dana honor lima pembantunya.

“Saya sangat berharap adanya bantuan berupa permodalan dari pemerintah, agar usaha yang saya tekuni ini tidak stagnan, kalau keadaannya seperti ini terus kami akan kesulitan dalam pengembangan usaha,” tuturnya.

Dikatakan, usaha cetak bata merah ini, merupakan turun tumurun warga desa. Karena hamper tidak ada lagi potensi yang dapat dikembangkan di desa ini selain usaha batu bata. Selain tanahnya cocok, juga mengandung pasir.

“Salah satu bahan percetakan bata merah tentu harus memilih tanah merah lempung yang mengandung pasir, agar hasilnya bisa maksimal artinya setelah proses pembakaran tidak retak-retak,” ujarnya.

Hal senada juga dikatakan perajin bata merah lainnya Suhaya (45 thn). Usaha yang ditekuninya kini merupakan andalan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya karena di desanya menjadi petani kurang produktip. Selain kondisi tanah, menjadi petani sawah hanyalah sewaktu-waktu saja ketika cuaca buruk menimpa produksi perajin.

“Biasanya di musim hujan, produksi bata merah agak lambat. Hal ini disebabkan proses pengeringan yang lama memakan waktu 2 minggu hingga satu bulan,” ujarnya.

Kepala Desa Sukaraja Adung membenarkan bahwa hampir 70% warga desa menggantungkan ekonominya dari usaha kerajinan batu bata merah, sisanya pegawai swasta, petani dan PNS.

“Saya berharap, berharap pemerintah dapat memberikan bantuan modal terhadap para perajin yang berada di desa Sukaraja. Hal ini untuk mendorong perekonomian desa maupun di Kabupaten Lebak. Apalagi bata merah asal Sukaraja banyak diminati,” katanya.

Proses pembuatan
Tanah merah yang mengandung pasir terlebih dahulu digali lalu dicampur air diaduk dibuat lembek (dibuat adonan). Sesudah selesai pengadukan ini, dibiarkan dulu selama satu malam, agar kadar air dipastikan tidak terlalu lembek dan setelah itu baru dikerjakan menurut ukuran pembuatan bata.
Proses ini dilakukan dengan peralatan sederhana. Rata-rata kalau sehari bisa menghasilkan 800 batang/hari. Kalau ingin maksimal bisa menggunakan teknologi modern yaitu menggunakan mesin molen.

Setelah tanah yang dicetak bata tersebut sudah menjadi batangan, maka tinggal menuggu proses pengeringan.

Kalau musim kemarau untuk proses pengeringan ini hanya memakan waktu satu minggu, namun kalau musim penghujan proses ini bisa mencapai sebulan.

Setelah batangan bata ditaksir cukup kering, proses selanjutnya adalah pembakaran melalui tungku yang sudah disiapkan, hingga bata betul-betul matang. Hasil yang bagus, biasanya bata berwarna kemerahan dan tidak ada retak-retak. (Matin)

Read More.. Read more...

ANALISIS POTENSI EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI BANTEN

Oleh Bambang DS
Disampaikan pada roundtable discussion Komisi Ekonomi Pembangunan dan Teknologi Dewan Riset Daerah Provinsi Banten, Kamis 5 Agustus 2010.

Pengembangan potensi ekonomi nasional mempunyai dampak atas struktur ekonomi nasional dan struktur ekonomi daerah. Oleh karena itu pengembangan potensi ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana lembaga riset dan perguruan tinggi (intellectual) para pelaku bisnis (business), dan pemerintah daerah (goverment) untuk menata sumberdaya-sumberdaya atau potensi ekonomi yang ada. Ketiganya sering disebut pilar I-B-G. Keberhasilan pengembangan potensi ekonomi daerah, sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang ditopang oleh I-B. Upaya memanfaatkan potensi daerah akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja secara optimal dari segi jumlah, produktivitas dan efisien.

Pengembangan potensi ekonomi daerah tentu harus melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah harus jeli, cerdas dan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap kebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut sumber daya yang ada maupun berpotensi untuk menyediakan sarana dan prasarana, iklim usaha yang probisnis untuk menarik investasi, kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) serta pengembangan sumberdaya manusia. Pergeseran paradigma dalam sistim penyelenggaraan pemerintahan dari pola sentralisasi menjadi pola desentralisasi atau disebut Otonomi daerah yang mengandung makna, beralihnya sebagian besar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah (Armida, 2000).

Hal ini membawa implikasi mendasar terhadap keberadaan tugas, fungsi dan tanggung jawab pelaksanaan otonomi daerah yang antara lain dibidang ekonomi yang meliputi implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daerah serta pencarian sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan dengan cara menggali potensi yang dimiliki oleh daerah. Oleh sebab itu pengembangan potensi daerah sangat ditentukan oleh kebijakan daerah itu sendiri dalam menentukan potensi-potensi yang diprioritaskan untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di daerah tersebut .

John Glasson (1990) mengatakan bahwa kemakmuran suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan potensi ekonomi dan pengembangannya sebagai factor utama pada struktur ekonominya dan faktor ini merupakan faktor utama. Sedangkan upaya pemda setempat menuju perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung pada keberhasilannya mendorong sector bisnis dalam menciptakan nilai tambah dengan menghasilkan barang dan jasa, serta usaha-usaha inovasi yang disumbangkan oleh unsur intelektual. Oleh sebab itu maka perlu sebuah kajian yang mendalam untuk menemukan kebijakan dan langkah-langkah aksi yang berperanan mendorong penggerak utama (prime mover role) dalam pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Banten, sekaligus mempunyai efek multiplier terhadap perekonomian regional.

Problematik
Potensi ekonomi apabila didekati dengan kebijakan yang tepat maka akan melahirkan langkah konkrit untuk memanfaatkannya maka akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi kepentingan pemerintah saja, tetapi juga bagi sektor bisnis dan kaum intelektual (akademisi, peneliti dan perekayasa) Inilah yang sering disebut dengan pilar I-B-G (intellectual,business, government). Ketiga pilar tersebut diharapkan mampu menjawab problematik Bagaimana mengoptimalisasi potensi sektor manufaktur khususnya yang berada dalam kawasan industri, Bagaimana mengembangkan potensi sektor logistik dengan keberadaan pelabuhan rakyat, Bagaimana mengintegrasikan potensi perbankan dengan pembangunan daerah.

Tinjauan Akademik
Segenap potensi perkembangan masing masing kabupaten/kota belum memiliki daya ungkit yang sama, dimana masih terjadi perbedaan kegiatan ekonomi yang berakibat besar kecilnya nilai tambah yang dihasilkan masing masing daerah, sehingga terjadi ketimpangan. Dengan potensi yang dimiliki masing masing kabupaten dan kota apabila terintegrasi dalam satu koridor pembangunan maka diantara kabupaen dan kota dapat saling mengisi. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi Banten masih terus berlangsung. Banyak penyebab salah satunya ditimbulkan oleh perbedaan tenaga kerja, modal dan teknologi, yang merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kualitas sumber daya manusia, modal dan teknologi akan mendorong terjadinya peningkatan optimalisasi bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitas.

Secara spesifik terdapat 3 faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi yaitu, akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan hal-hal yang berhubungan dengan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dianggap secara positif merangsang pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak angkatan kerja berarti semakin produktif, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik. Namun ini tergantung pada kemampuan sistem perekonomian untuk menyerap dan mempekerjakan tambahan pekerja itu secara produktif. Faktor utama lainnya adalah kemajuan teknologi untuk menciptakan nilai tambah.

Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini, proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Beberapa ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan, dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat luas (Lincolyn, 1999). Perroux yang terkenal dengan teori kutub pertumbuhan menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul diberbagai daerah pada waktu yang bersamaan. Pertumbuhan hanya terjadi dibeberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda (Perroux, 1988 dalam Mudrajat , 2002).

Optimalisasi Kawasan Industri
Pada tahun 2008, secara umum di Provinsi Banten terdapat tiga sektor yang memberikan sumbangan terbesar yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan pengangkutan dan komunikasi, sedangkan sektor yang paling kecil kontribusinya yaitu pertambangan dan penggalian.

Secara nasional pertumbuhan sektor industri yang cukup cepat pada awalnya mulai menurun pada periode tahun 1990-an dan mengalami penurunan tertajam pads krisis tahun 1998. Sektor industri manufaktur di Indonesia mempunyai struktur yang terkonsentrasi. Kondisi ini jelas sangat berpengaruh terhadap perilaku danjuga kinerja industri manufakktur. Kondisi tersebut juga parallel dengan kondisi di Provinsi Banten. Namun demikian sektor manufaktur tetap masih mendominasi proporsi dalam struktur perekonomian yaitu 45,25 %. Dengan demikian sector ini masih dapat diandalkan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten.

Dalam kaitan itu jika kita memilah sektor manufaktur dalam kawasan industri, masih terdapat potensi yang belum disentuh yakni kebijakan terhadap integrasi masyarakat dengan kawasan industry. Masyarakat di sekitar kawasan industri sangat mungkin terlibat dalam aktivitas dalam dua kategori yaitu (1) sebagai penyedia barang dan jasa yang terkait dengan bisnis inti perusahaan dalam kawasan, dan (2) penyedia barang dan jasa pendukung bisnis inti perusahaan dalam kawasan.

Potensi sektor logistik nasional
Michael Gughes pada bukunya berjudul The Essential of Supply Chain Managament (2003), menulis bahwa ada 5 (lima) penggerak utama dalam suatu rantai suplai (major supply chain drivers). Ke 5 (lima) penggerak utama itu adalah produk, persediaan, transportasi, lokasi dan informasi. Bila pada kerangka mikro peserta rantai suplai adalah perusahaan, maka dalam kerangka makro, peserta rantai suplai nasional adalah daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Letak geografis penghasil produk khususnya produk olahan yang dibutuhkan oleh daerah lain di peta percaturan ekonomi nasional adalah faktor penggerak lokasi dari teori diatas.

Kondisi geografis penghasil barang olahan, dalam hal ini untuk Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Cilegon, Kabupaten Serang dan Tangerang, sekarang ini mengharuskan melakukan distribusi barang ke Sumatra, Kalimantan dan pulau lain melalui pelabuhan Tanjung Priuk dan Sunda Kelapa. Realitanya beban jalan terhadap berbagai moda transportasi di DKI Jakarta sekarang sudah berlebih sehingga menyebabkan kemacetan yang semakin parah. Dalam kaitan ini biaya transportasi akan semakin tinggi membebani biaya perunit barang, yang mengakibatkan daya saing harga barang semakin menurun. Demikian juga dengan trip pengiriman bahan baku dan barang jadi ke pabrik atau keluar pabrik semakin lama, sehingga efektifitas daya angkut semakin rendah.

Oleh karena itu Banten memiliki daya saing untuk mengalihkan kekacauan lalu lintas di DKI Jakarta dengan mengalihkan distribusi barang ke Sumatra dan Kalimantan melalui Pelabuhan Karangantu. Pelabuhan tersebut secara alami telah menyediakan temapat labuh dan sandar kapal barang dengan ukuran tonase sedang. Tentu saja dengan kerusakan alam di hulu, meyebabkan sedimentasi pada pelabuhan Karangantu semakin cepat maka perlu perlakuan secara khusus agar kedalaman tetap laik sandar bagi kapal barang.

Keunikan kondisi dan letak geografis Indonesia, termasuk juga keadaan alam, demografi dan sebaran sentra produksi komoditas, tentu dapat dimanfaatkan secara cerdas oleh Provinsi Banten memiliki factor keunggulan sebagai basis manufaktur dan pelabuhan alaminya. Strategi lain yang perlu dipertimbangkan adalah mengintegrasikan keunggulan tersebut dengan arah kebijakan logistik nasional agar tercipta linkaging dengan jalur internasional. Oleh karenanya, pemahaman dalam keunikan posisi Provinsi Banten terkait dengan pengembangan sektor logistik nasional adalah penting.

Integrasikan potensi perbankan dengan pembangunan daerah
Peran perbankan sebagai pendorong kemajuan ekonomi bagi Provinsi Banten belum terkonsolidasi dengan baik. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi belum mampu mengintegrasikan kekuatan intermediasi bank sebagai pendorong utama pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Padahal kemampuan bank untuk menghimpun dana masyarakat dan menyalukankannya dalam bentuk kredit sebagai fungsi intermediasi perbankan tetap stabil dengan kecenderungan peningkatan pada kredit investasi dan konsumsi. Kondisi seharusnya menjadi perhatian untuk mengintegrasikan perencanaan pembangunan kabupaten/kota dan provinsi dengan business plan setiap bank. Model pendekatannya adalah MB-BP. Mekanisme bekerjanya cukup sederhana dimana masing-masing pihak dipertemukan dalam satu sesi. Biasanya dokumen perencanaan pembangunan disusun pada bulan Maret-Desember. Sementara business plan bank pada umumnya selesai disusun pada bulan Oktober-November yang sebagian realisasinya ditentukan dengan prognosa pada realisasi tahun berjalan.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, maka ekonomi di Provinsi Banten dapat mengikuti irama pertumbuhan tersebut. Data dari Bank Indonesia mengindikasikan terus membaiknya pertumbuhan perbankan di beberapa daerah di Provinsi Banten, perkembangan jumlah kantor bank dan aktiva bank umum terus meningkat khususnya untuk bank umum di wilayah Pandeglang, Tangerang dan Serang. Terlihat dari peningkatan jumlah kantor bank umum di wilayah Banten yang cukup signifikan.

Jelas sudah bahwa, sektor manufaktur di kabupaten dan kota di Provinsi Banten terutama yang berada dalam kawasan secara regulasi belum dikondisikan untuk dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Karenanya, perlu dibuat regulasi bagi setiap kawasan industri untuk menyediakan fasilitas lahan yang dipergunakan oleh UMKM yang pelakunya berasal dari masyarakat sekitar.

Demikian pula, distribusi barang dari sentra perusahaan manufaktur di Kabupaten Serang, Lebak, Tangerang dan Kota Cilegon, Tangerang dan Tangerang Selatan ke Pulau Sumatra dan Kalimantan, masih dilakukan melalui Pelabuhan Tanjung Priuk dan Sunda Kelapa, yang sering mengalami kemacetan parah. Untuk itu, Pelabuhan Karangantu dapat difungsikan sebagai pelabuhan niaga antar pulau dengan mengintegrasikan dengan sistem dan jaringan logistik nasional, agar jalur distribusi barang ke Pulau Sumatra dan Kalimantan khususnya dapat diperpendek, untuk memperkuat daya saing produk manufaktur dari Provinsi Banten.

Berkait dengan pertumbuhan perbankan di kabupaten dan kota di Provinsi Banten senantiasa tumbuh dari tahun ketahun namun potensi tersebut belum diintegrasikan dengan perencanaan pemebangunan secara system dan kelembagaan. Maka, perlu dibentuk kelompok kerja antara Bappeda dengan perbankan pada tingkat kabupaten dan kota maupun provinsi untuk mengintegrasikan perencanaan pembangunan pemerintah daerah dengan business plan perbankan.

Read More.. Read more...

suara anda:

ShoutMix chat widget

Pengunjung Ke:

Pengikut

Lorem Ipsum


  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP