Pemkot Serang Kelimpungan
Pajak & Retribusi Bakal Digenjot?
Pemekaran wilayah –apapun alasannya, sejatinya bisa meningkatkan perekonomian masyarakat, yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan, bukan membebaninya. Namun, bagaimana jadinya ketika sebuah daerah dimekarkan, ternyata malah berjalan tertatih-tatih. Sekedar menutupi biaya operasional saja kelimpungan. Sudah bisa ditebak rakyat pun bakal terbebani. Akankah sektor pajak dan retribusi dinaikkan?
Mutiara dalam Lumpur, ungkapan itu layak disematkan ke Kota Serang. Betapa tidak, Kota Serang sebagai ibukota dan etalase Provinsi Banten, bak sebuah mesin uang. Sektor perekonomian (perbankan, lembaga keuangan, mall), sektor jasa (perhotelan, rumah makan, dan rumah sakit), serta sektor pendidikan (perguruan tinggi negeri dan swasta) semua bertumpu di Kota Serang. Tapi ironis, di tahun pertama, tak ada tangan-tangan yang mau menggosok Kota Serang supaya lekas tampak mutiaranya.
Kondisi Kota Serang saat ini sebenarnya tak terlepas dari lambatnya penyerahan aset-aset dari Pemkab Serang, terutama aset-aset yang menghasilkan PAD. Pemkab Serang lebih dulu menyerahkan aset-aset yang tak menghasilkan PAD bulan Januari 2009, seperti stadion, dan alun-alun. Aset ini justru hanya menambah beban anggaran Kota Serang untuk memeliharanya.
Sedangkan aset-aset Pemkab yang menghasilkan PAD, seperti Pasar Rau dan Terminal (Pakupatan), baru diserahkan pada pertengahan tahun yakni Juni 2009. Sehingga ketika Provinsi Banten hendak memberi bantuan penataan terminal misalnya, Pemkot Serang kebingungan bagaimana menerima dan mempergunakan anggaran tersebut, sebab sebelum ada penyerahan tentu belum ada coring penggunaan anggaran tersebut.
Hal itu sempat dicetuskan oleh Sekda Kota Serang H. Sulhi Chair ketika menjelaskan upaya melunasi tunggakan listrik kepada manajer PLN Distribusi Jawa Barat-Banten di gedung DPRD Kota Serang, Selasa (8/12). “Kami akan melunasi tunggakan PJU kepada PLN dengan cara mencicil mulai Januari 2010. Untuk memperoleh anggaran tersebut, kami akan menempuh berbagai cara, salah satunya menaikkan retribusi dan pajak dari masyarakat,” kata Sulhi.
Rencana menaikkan retribusi dan pajak itu pun sudah disosialisasikan ke berbagai dinas dan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) di Kota Serang. Dinas Pasar misalnya akan menaikkan pajak kios dan los-los di berbagai pasar yang ada di Kota. Dinas Pemuda dan Olahraga, Pariwisata dan Budaya juga akan menaikkan retribusi perhotelan dan rumah makan. Bahkan warung-warung kaki lima seperti warteg, salon, tukang pangkas rambut pun –yang selama ini belum ada standar retribusi- akan mulai diatur pungutan retribusinya. UPTD Parkir Dinas Perhubungan juga akan menaikkan retribusi parkir sesuai jenis kendaraan.
Memprihatinkan memang, sejak dibentuknya Kota Serang bukannya terjadi perubahan ke arah positif justru malah pemerintahan Kota Serang cenderung terpuruk. Lebih parah lagi, masyarakat hanya menjadi objek sasaran penggalian sumber dana. Iklim yang mengerikan tentunya buat para ‘investor’. Bisa jadi investor yang ada sekarang pun sudah ancang-ancang untuk kabur dari Kota Serang.
Sekretaris DPKAD Kota Serang Dudung BP, ketika dikonfirmasi Banten Ekspose mengungkapkan, biaya pemakaian listrik untuk PJU Kota Serang per bulan mencapai Rp 600 juta. Sedangkan pendapatan pajak dari masyarakat yang dikenakan kepada setiap KWH rumah tangga sesuai tingkatannya hanya mencapai Rp 300 juta.
Dudung menyadari masyarakat mungkin hanya berpikir realitas, bahwa mereka sudah dipungut pajak. Tapi, kok sejak menjadi Kota Serang, PJU malah mati dan kota pun menjadi gelap gulita. “Saya tidak menutup-nutupi kondisi keuangan Pemkot. Justru masyarakat harus tahu agar bisa memahami kondisi sebenarnya. Memang benar masyarakat sudah dipungut pajak PJU, tapi sebenarnya itu tidak cukup untuk satu tahun,” kata Dudung.
Menurut Dudung, PJU yang ada di Kota Serang sebenarnya bukan hanya milik Kota Serang, tapi ada juga lampu-lampu milik Provinsi Banten yang harus ditanggung Kota Serang karena berada di wilayah teritorial Kota Serang. Karena itu Pemkot pun berupaya meminta Pemprov Banten untuk sharing dalam membiayai PJU.
‘Katak Dalam Tempurung’
”Kalau setiap ada masalah diatasi dengan menggenjot pajak dan retribusi dari masyarakat, masyarakat bisa menuntut para pemimpin yang telah mereka pilih. Investor juga bisa pada kabur dari Serang,” kata Isbandi kepada Banten Ekspose, Senin (14/12).
Menurut Isbandi, masyarakat bisa balik menuntut para pemimpin yang telah mereka pilih. “Waktu pemilihan mereka bisa mengeluarkan uang sampai 10 milyar misalnya demi memenangkan pemilihan, masa utang Rp 1,9 milyar saja tidak bisa membayar,” tukas Isbandi.
Menaikkan pajak dan retribusi pun, kata Isbandi, tidak bisa semena-mena dilakukan. Ada peraturannya. ”Harus dibuatkan Perda terlebih dahulu. Kalau tidak ada peraturannya, pemerintah bisa dikenakan sanksi sesuai UU No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,” tegas Isbandi.
Melihat konsep yang dangkal itu, Isbandi menelaah, para pemimpin Kota Serang yang telah dipilih masyarakat ternyata tidak punya konsep enterpreneur pengembangan dan pembangunan Kota Serang. ”Pemimpin Kota Serang mau mengembangkan Kota Serang hanya berpatokan pada PAD, itu sih seperti Katak Dalam Tempurung,” tegas Isbandi.
Selayaknya, kata Isbandi, para pemimpin Kota Serang menerapkan konsep enterpreneur pembangunan. Enterpreneur jangan diartikan mendirikan usaha saja. Tetapi bagaimana mengembangkan dan membangun Kota Serang dari potensi yang ada. Misalnya membangun pola kemitraan. Para pemimpin Kota Serang harus berpikir secara holistik, menyeluruh, mau dibagaimanakan Kota Serang ini.
“Kalau mau dijadikan Kota Modern, pengertian modernnya seperti apa? Kumpulkan semua aparatur pemerintah Kota Serang agar satu visi tentang makna Kota Modern itu. Kalau sudah ketemu, cari stakeholder yang berkaitan dan mendukung visi tersebut. Masyarakat yang punya lahan misalnya, jangan digusur, tapi diajak kerjasama membangun apa yang hasilnya bisa dipetik bersama, ” ungkap Isbandi panjang lebar.
Dalam kacamata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Banten tersebut, sebagai ibukota Provinsi Banten, Kota Serang sesungguhnya berada dalam posisi strategis sebagai kota administratif, kota yang dijadikan sebagai pusat pelayanan admistrasi oleh semua pihak yang berkepentingan ke Provinsi Banten.
”Semua orang dari manapun yang bertujuan ke Provinsi pasti singgahnya di Kota Serang. Maka di Kota Serang bisa dibangun fasilitas yang mendukung kebutuhan administrasi tersebut, maupun tujuan bisnis ke Banten. Misalnya bangun lembaga-lembaga keuangan, perhotelan untuk menampung para tamu dari luar, menyediakan tempat pertemuan dan fasilitas umum lainnya,” kata Isbandi.
Sebagai contoh Bandung ibukota Jawa Barat. Semua pihak yang berkepentingan ke Pemda Jawa Barat pasti singgah ke Bandung karena semua kebutuhan administratif, bisnis dan jasa ada di sana. Begitu juga Kota Serang seharusnya menyediakan semua kebutuhan administratif, bisnis, dan jasa untuk masyarakat yang berkepentingan ke Provinsi Banten
Dari mana sumber dananya? Pemkot Serang bisa menjalin kemitraan dengan kabupaten yang ada di sekitarnya, seperti Kabupaten Serang atau Pandeglang untuk membangun dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Atau Pemkot Serang bisa meminjam dana dari Bank Dunia untuk membangun fasilitas umum dengan sistem hak guna pakai sehingga beberapa tahun ke depan menjadi hak milik Kota Serang.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Cabang Lembaga Pendidikan Primagama Kota Serang, Agus Tiryana. Menurutnya, mencari PAD dengan menggenjot kenaikan pajak atau retribusi dari masyarakat saja bukan langkah yang kreatif.
”Sebagai warga, masyarakat dari kalangan manapun pasti pasrah saja. Kalau memang pajak mau dinaikkan, kami pun hanya bisa mengikuti. Tapi sebaiknya, pemerintah mencari dana tidak dengan cara itu saja. Harus lebih kreatif lagi, dong,” kata Agus kepada Banten Ekspose.
Kota Serang yang baru berusia 1 tahun memang sedang mengalami ujian berat. Selain tidak berdaya memenuhi kebutuhannya sendiri, juga pemimpinnya Walikota Serang H. Bunyamin sedang sakit hampir 3 bulan dan kemungkinan tidak begitu aktif dalam menjalankan roda pemerintahan Kota Serang.
Dalam visi awal pasangan Bunyamin dan Chairul Zaman, Kota Serang ini diproyeksikan menjadi Kota Pendidikan, Pusat Perdagangan dan Jasa. Karena itu pembangunan di Kota Serang lebih didominasi pembangunan ekonomi. Pembangunan Carefour di Ciceri Serang, konon salah satu upaya mewujudkan visi sebagai Kota Perdagangan dan Jasa.
Kehadiran Carefour diyakini tidak akan membunuh pedagang kecil di sekitarnya karena masyarakat juga terdiri dari berbagai tingkatan. Istilahnya, kelas pembeli rokok setengah bungkus tidak mungkin ke Carefour, pasti tetap mencari kios rokok yang ada. Padahal tanpa disadari, kehadiran Carefour telah mengacak-acak pedagang kaki lima (bakso, sate, buah-buahan dll) yang telah bertahun-tahun menempati lokasi tersebut. Mereka terpinggirkan, omzet mereka menjadi berkurang karena pindah tempat.
Pemerintah Kota Serang sebenarnya bisa merekomendasikan pembangunan Carefour di daerah yang masih kosong untuk pusat perdagangan baru. Walantaka, misalnya. Jangan karena pihak investor tak mau diarahkan ke pinggiran, maka pedagang kecil yang dikorbankan. Dari sini saja terlihat pembangunan Kota Serang lebih berpihak pada investor besar. Seperti juga konsep pembangunan di kota lain, di mana yang besar makin besar dan yang kecil makin kerdil.
Kelanjutan Kota Serang saat ini tentu bertumpu pada wakil walikota Chairul Zaman. Tetapi wakil walikota sendiri hingga saat ini belum terdengar actionnya untuk membuat terobosan-terobosan pembangunan Kota Serang. Lalu bagaimana nasib Kota Serang ke depan? Akankah semakin terpuruk? Kita tunggu saja seiring perjalanan waktu: adakah seseorang yang muncul sebagai pahlawan atau justru seperti kata pepatah, ”sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram air pula.” (Aan/Joe).
0 komentar:
Posting Komentar